NILAI DASAR PERGERAKAN (NDP) PMII

PEMBUKAAN

Senantiasa memohon dan menjadikan Allah SWT sebagai sumber segala kebenaran dan tujuan hidup, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berusaha menggali nilai-nilai ideal-moral yang lahir dari pengalaman dan keberpihakan insan warga pergerakan dalam bentuk rumusan-rumusan yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Hal ini dibutuhkan untuk memberi kerangka, arti, motivasi pergerakan dan dan sekaligus memberikan legitimasi dan memperjelas terhadap apa saja yang akan dan harus dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini.

NDP ini adalah tali pengikat (kalimatun sawa’) yang mempertemukan semua warga pergerakan dalam ranah dan semangat perjuangan yang sama. Seluruh warga PMII harus memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara personal atau secara bersama-sama, dalam medan perjuangan sosial yang lebih luas dengan melakukan keberpihakan yang nyata melawan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekerasan dan tindakan-tindakan negatif lainnya. NDP ini, dengan demikian, memungkinkan warga PMII senantiasa memiliki kepedulian sosial yang tinggi (faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya) atau paham dan peka terhadap kemaslahatan makhluk di dunia).

BAB I

ARTI, FUNGSI DAN KEDUDUKAN

  • Arti

NDP adalah nilai-nilai yang secara mendasar merupakan sublimasi nilai-nilai keislaman seperti kemerdekaan atau al-hurriyah, persamaan atau al-musawa, keadilan atau ’adalah, toleran atau tasamuh, damai atau al-shulh, dll dan ke Indonesiaan (kebaeragaman suku, agama, dan ras; beribu pulau; persilangan budaya) dengan kerangka pemahaman ahlussunnah wal jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah, mendorong, serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari dan memberi spirit dan alat vital pergerakan yang meliputi cakupan iman (aspek aqidah), Islam (aspek syari’ah) dan Ihsan (aspek etika, akhlak dan tasawuf) dalam upaya memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat (sa’adah ad-darain). Dan sebagai tempat semai dan tumbuh, keindonesiaan memberi area berpijak, bergerak, dan memperkaya proses aktualisasi dan dinamika pergerakan.

Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan ahlussunnah wal jama’ah sebagai manhaj al-fikr sekaligus manhajal-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksikan sekaligus merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis- transformatif.

  • Fungsi
  1. Kerangka Refleksi

Sebagai kerangka refleksi, NDP bergerak dalam pertarungan ide-ide, paradigma, nilai-nilai yang akan memperkuat tingkat kebenaran-kebenaran ideal. Ideal-ideal itu menjadi sesuatu yang mengikat, absolut, total, universal berlaku menembus keberbagai ruang dan waktu (muhkamat qoth’i). Kerangka refleksi ini, karenanya, menjadi moralitas sekaligus tujuan absolut dalam mendulang capaian-capaian nilai seperti kebenaran, keadilan, kemerdekaan, kemanusiaan, dll.

  1. Kerangka Aksi

Sebagai kerangka aksi, NDP bergerak dalam pertarungan aksi, kerja-kerja nyata, aktualisasi diri, pembelajaran sosial yang akan memperkuat tingkat kebenaran-kebenaran faktual. Kebenaran faktual itu senantiasa bersentuhan dengan pengalaman historis, ruang dan waktu yang berbeda-beda dan berubah-ubah, kerangka ini memungkinkan warga pergerakan menguji, memperkuat atau bahkan memperbarui rumusan-rumusan kebenaran dengan historisitas atau dinamika sosial yang senantiasa berubah (mutasyabihat, Dzonni).

  1. Kerangka Ideologis
  1. Menjadi satu rumusan yang mampu  memberikan proses ideologisasi di setiap kader secara bersama-sama, sekaligus memberikan dialetika antara konsep dan realita yang mendorong proses kreatif di internal kader secara menyeluruh dalam proses perubahan sosial yang diangankan.
  2. Menjadi pijakan atau landasan bagi pola pikir dan tindakan kader sebagai insan pergerakan yang aktif terlibat menggagas dan proaktif memperjuangkan perubahan sosial yang memberi tempat bagi demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM.
  • KEDUDUKAN
  1. NDP menjadi sumber kekuatan ideal-moral dari aktivitas pergerakan
  2. NDP menjadi pusat argumentasi dan pengikat kebenaran dari kebebasan berfikir, berucap dan bertindak dalam aktivitas pergerakan.

BAB II

RUMUSAN NILAI-NILAI DASAR PERGERAKAN

  • TAUHID

Mengesakan Allah SWT merupakan nilai paling asasi dalam sejarah agama samawi. Di dalamnya telah terkandung sejak awal tentang keberadaan manusia. Allah SWT berfirman: (Al-Ikhlas, Al-Mukmin ayat 25, Al-Baqarah ayat 130-131)

قُلْ هُوَاللهُ أَحَدٌ‘  اَلله الصَّمَدُ‘ لَمْ يَلِدْوَلَمْ يُوْلَدْ‘ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًاأَحَدٌ‘ {الإخلاص:                 }

Artinya: “Katakanlah: “Dialah Allah yang maha Esa, Allah adalah Tuhan tempat meminta, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia”. (QS. Al-Ikhlash: 1-4).

فَلَمَّاجَاءَهُمْ بِالْحَقِّ مِنْ عِنْدِنَاقَالُوْااقْتُلُواأَبْنَاءَالَّذِيْنَ آمَنُوْامَعَهوَاسَتَحْيُوْانِسَاءَهُمْ ‘ وَمَاكَيْدَالْكَافِرِيْنَ إِلاَّفِىْضَلَاٍل {المؤمن:               }

Artinya: Maka tatkala Musa datang kepada mereka membawa kebenaran dari sisi kami mereka berkata: “Bunuhlah anak-anak orang-orang yang beriman bersama dengan dia dan biarlah hidup wanita-wanita mereka”. Dan tipu daya orang-orang kafir itu tak lain hanyalah sia-sia belaka. (QS. Al-Mukmin: 25).

وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيْمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِاصْطَفَيْنَاهُ فِى الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِى الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِيْنَ ‘ إِذْقََالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ

لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ {البقرة :               }

Artinya: Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang-orang yang memperbodoh diri mereka sendiri, dan sungguh kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: ”Tunduk dan patuhlah!, Ibrahim menjawab: ”Aku tunduk dan patuh kepada Tuhan semesta alam”.  (QS. Al-Baqarah: 130-131).

PERTAMA, Allah adalah Esa dalam segala totalitas, dzat sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Allah adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah dan memelihara alam semesta. Allah juga menanamkan pengetahuan, membimbing dan menolong manusia. Allah maha mengetahui, maha menolong, maha bijaksana, hakim maha adil, maha tunggal, maha mendahului dan maha menerima segala bentuk pujaan dan penghambaan. (Al-Hasyr ayat 22-24)

هُوَاللهُ الَّذِى لآإِلَهَ إِلاَّهُوَعَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَالرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ ‘ هُوَاللهُ الَّذِى لآ إِلَهَ إِلاَّهُوَالْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلاَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُالْجَبَّارُالْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّايُشْرِكُوْنَ ‘  هُوَاللهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُلَهُ الْأَسْمَاءُالْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَافِى السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُالْحَكِيْمُ {الحشر:                      }

Artinya: Dialah Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, Raja yang maha suci, yang maha sejahtera, yang mengaruniakan keamanan, yang maha memelihara, yang maha perkasa, yang maha kuasa, yang memiliki segala keagungan, maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, yang maha mengetahui yang ghaib dan yang nyata,  Dialah yang maha pemurah lagi maha penyayang. Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang maha perkasa lagi maha bijaksana. (QS. Al-Hasyr: 22-24).

KEDUA, keyakinan seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari alam semesta, serta merupakan manifestasi kesadaran dan keyakinan kepada ghaib. (Al- Baqoroh  ayat 3, Muhammad ayat 14-15, Al-Alaq ayat 4, Al-Isro’ ayat 7)

َالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ َويُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَِممَّارَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ {البقرة :                   }

Artinya: Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugrahkan kepada mereka. (QS. Al-Baqarah: 3).

أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوْءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوْاأَهْوَاءَهُمْ ‘ مَثَلُ الْجَنَّةِ اَّلِتى وُعِدَالْمُتَّقُوْنَ فِيْهَاأَنْهَارٌمِّنْ مَآءٍ غَيْرُ اَسِنٍ وَأَنْهَارٌمِّنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَاٌر مِّنْ خَمْرٍلَّذَّةٍ لِّلشَّارِبِيْنَ وَأَنْهَاٌرمِّنْ عَسَلٍ مُّصَفَّرٍ وَلَهُمْ فِيْهَا مِنْ ُكلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِّنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌفِى النَّارِ وَسَقُوْامَآءًحَمِيْمًافَقَطَعَ اَمْعَاءَهُمْ {محمد :                               }

Artinya: Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (syaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya. (Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberik minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya.

َالَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ {العلق:               }

Artinya: Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam (QS. Al-’Alaq: 4)

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَاجَاءَوَعْدُالْآخِرَةِ لِيَسُوْءُوُجُوْهَكُمْ وَلِيَدْخُلُواالْمَسْجِدَكَمَادَخَلُوْهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوْامَاعَلَوْ تَتْبِيْرًا  {الإسراء :              }

Artinya: Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sindiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid. Sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. (QS. Al-Isra’: 7).

KETIGA, oleh kerena itu tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memandu dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan dan perwujudan lewat perbuatan. Maka, konsekuensinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia harus mampu melarutkan dan menetaskan nilai-nilai tauhid dalam berbagai kehidupan serta tersosialisasikan hingga merambah sekelilingnya. (Al-Baqoroh ayat 30, Al-A’raf ayat 129, An-Nahl ayat 62, Fathir ayat 39).

وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى اْلأَرْضِ خَلِيْفَةً ‘ قَالُوْاأَتَجْعَلُ فِيْهَامَنْ يُفْسِدُفِيْهَاوَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ ‘ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ‘ قَالَ إِنِّى أَعْلَمُ مَالَا تَعْلَمُوْنَ {البقرة :             }

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: ” Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau?”. Allah berfirman: ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 30).

قَالُوْاأُوْذِيْنَامِنْ قَبْلِ أَنْ تَأْتِيَنَا وَمِنْ بَعْدِمَاجِئْتَنَا ‘ قَالَ عَسَى رَبُّكُمْ اَنْ يُّهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِىالْأَرْضِ فَيَنْظُرَكَيْفَ تَعْمَلُوْنَ {الأعراف:

}

Artinya: Kaum Musa berkata: “Kami telah ditindas (oleh fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: ” Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi (Nya). Maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu”. (QS. Al-’Araf: 129).

َويَجْعَلُوْنَ لِلَّهِ مَايُكْرَهُوْنَ وَتَصِفُ اَلْسِنَتَهُمُ الْكَذِبَ أَنَّ لَهُمُ الْحُسْنَى لَاجَرَمَ أَنَّ لَهُمُ النَّارَ وَأَنَّهُمْ مُفْرِطُوْنَ  {النحل :         }

Artinya: Dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang mereka sandiri membencinya, dan lidah mereka mengucapkan kedustaan, yaitu bahwa sesungguhnya merekalah yang akan mendapat kebaikan. Tidadalah diragukan bahwa nerakalah bagi mereka, dan sesungguhnya mereka segera  dimasukkan (kedalamnya). (QS. An-Nahl: 62).

هُوَالَّذِىْ جَعَلَكُمْ خَلآ ئِفَ فِى اْلأَرْضِ ‘ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ ‘ وَلاَ يَزِيْدُالْكَافِرِيْنَ كُفْرُهُمْ عِنْدَرَبِّهِمْ إِلاَّ مَقْتًا ‘ وَلاَ يَزِيْدُالْكَافِرِيْنَ كُفْرُهُمْ إِلَّا خَسَارًا {فاطر:               }

Artinya:  Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhanya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka. (QS. Fathir: 39).

Hal ini dibukitikan dengan pemisahan yang tegas antara hal-hal yang profan dan yang sakral. Selain Allah sebagai dzat yang maha kuasa, maka bisa dilakukan dekonstruksi dan desakralisasi atasnya. Sehingga tidak terjadi penghambaan pada hal-hal yang sifatnya profan, seperti jabatan, institusi, teks, orang dan seterusnya.

KEEMPAT, dalam memahami dan mewujudkannya, pergerakan telah memilih ahlussunnah wal jama’ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan keyakinan itu.

  • HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH

Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan manusia sebaik-baik kejadian dan menganugrahkan kedudukan terhormat kepada manusia di hadapan ciptaanNya yang lain. (Al-Dzariat ayat 56, Al-A’raf ayat 179, Al-Qashash ayat 27)

وَمَاخَلَفْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ {الذاريات:               }

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56).

وَلَقَدْذَرَأْناَلِجَهَنَّمَ كَثِيْرًامِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ‘ لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَ يَفْقَهُوْنَ بِهَا ‘ وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَيُبْصِرُوْنَ بِهَا ‘ وَلَهُمْ اَذَنٌ لاَ يَسْمَعُوْنَ بِهَا ‘ أُولَئِكَ كَالْأنعْاَمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ‘ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُوْنَ  {الأعراف :                   }

Artinya: Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-’Araf: ).

قَالَ إِنِّى أُرِيْدُأَنْ ُأنْكِحَكَ إِحْدَى إِبْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِى ثَمَاِنىَ حِجَجٍ ‘ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ‘   وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ‘ سَتَجِدُنِى إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّالِحِيْنَ {القصص :                   }

Artinya: Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakkau ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (QS. Al-Qhashash: 27).

Kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya pikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan kepada makhlukNya. Sebagai hamba Allah, (Shad ayat 82-83, Al-Hujurat ayat 4)

قَالَ فَبِعِز  َّتِكَ لَأُغْوِيَنهَّمُ ْأَجْمَعِيْنَ ‘ إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ  {ص :                     }

Artinya:  Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”. (QS. Shad: 82-83).

إِنَّ الَّذِيْنَ يُنَادُوْنَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُوْنَ {الحجرات :                    }

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. (QS. Al-Hujurat: 4).

Manusia harus melaksanakan ketentuan-ketentuanNya. Untuk itu manusia dilengkapi dengan kesadaran moral yang selalu harus dirawat jika manusia tidak ingin terjatuh ke dalam kedudukan yang rendah. (Al-Imron ayat 153, Hud ayat 88)

إِذْتُصْعِدُوْنَ وَلاَ تَلْوُوْنَ عَلَى أَحَدٍ وَالرَّسُوْْلُ يَدْعُوْكُمْ فِى أُخْرَىكُمْ فَأَثَابَكُمْ غَمًّابِغَمٍّ لِّكَيْلاَ تَحْزَنُوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَ مَاأَصَابَكُمْ ‘ وَاللهُ خَبِيْرٌ بِمَاتَعْمَلُوْنَ  {ال عمران :                    }

Artinya: (Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan kepadamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap ap yang luput daripada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Ali-Imran: 153).

قَالَ يَاقَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَبىِّ وَرَزَقَنِى مِنْهُ رِزْقًاحَسَنًاوَمَاأُرِيْدُأَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَاأَنْهَاكُمُ عَنْهُ ‘ إِنْ أُرِيْدُ إِلاَّ الْإِصْلَاحَ مَااسْتَطَعْتُ ‘ وَمَا تَوْفِيْقِى إِلاَّ بِاللهِ ‘ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ {هود :                  }

Artinya: Syu’aib berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugrahi-Nya aku daripada-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)?. Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku kembali. (QS. Huud: 88).

Dengan demikian, dalam kedudukan manusia sebagai ciptaan Allah, terdapat dua pola hubungan manusia dengan Allah, yaitu pola yang didasarkan pada kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dan sebagai hamba Allah. (Al-An’am ayat 165, Yunus 14)

وَهُوَالَّذِى جَعَلَكُمْ خَلاَ ئِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَااَتَكُمْ ‘ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُوْرٌرَّحِيْمٌ  {الأنعام  :           }

Artinya: Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di muka bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha pengampun lagi Maha penyayang. (QS. Al-An’Am: 165).

ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلاَ ئِفَ فِى اْلأَرْضِ مِنْ بَعْدِهِمْ لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ   {يونس :                }

Artinya: Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (QS. Yunus: 14).

Kedua pola ini dijalani secara seimbang, lurus dan teguh dengan yang lain. (Shad ayat 72, Al-Hajr ayat 29, Al-Ankabut ayat 29)

فَإِذَاسَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ ُرْوحِى فَقَعُوْالَهُ سَاجِدِيْنَ {ص :                            }

Artinya: Maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. (QS. Shad: 72).

فَإِذَاسَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ ُرْوحِى فَقَعُوْالَهُ سَاجِدِيْنَ {الحجر :                      }

Artinya: Maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. (QS. Ah-Hijr: 29).

أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُوْنَ السَّبِيْلَ ‘ وَتَأْتُوْنَ فِى نَادِيْكُمُ الْمُنْكَرَ ‘ فَمَاكَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلاَّ أَنْ قَالُواائْتِنَابِعَذَابِ اللهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ {العنكبوت :                     }

Artinya:  Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?, ”Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan: Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar. (QS. Al-’Ankabut: 29).

Sebab memilih salah satu pola akan membawa manusia kepada kedudukan dan fungsi manusia yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya manusia tidak akan dapat mengejawantahkan prinsip tauhid secara maksimal.

Pola hubungan dengan Allah juga harus dijalani dengan ikhlas. (Al-Ra’d, Ayat 11)

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُوْنَهُ مِنْ أَمْرِاللهِ ‘ اِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْامَابِأَنْفُسِهِمْ ‘ وَإِذَاأَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًافَلاَ مَرَدَّلَهُ َومَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ وَّالٍ  {الرعد :              }

Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS. Ar-Ra’du: 11).

Artinya pola itu dijalani dengan mengharapkan keridlaan dari Allah. Sehingga pusat perhatian dengan menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak Allah. (Al-Hadid ayat 22)

مَاأَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِى اْلأَرْضِ وَلاَفِى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِى ِكتَابٍ مِّنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ {الحديد :              }

Artinya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhil mahfudzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al-Hadid: 22).

Dengan demikian bertarti diberikan penekanan kepada proses menjadi insan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan menyadari arti niat dan ikhtiar, akan muncul manusia-manusia yang mempunyai kesadaran tinggi, kreatif, dan dinamis dalam hubungan dengan Allah. Sekaligus didukung dengan ketakwaan dan tidak pernah pongah kepada Allah. (Al-Imron ayat 159)

فَبِمَارَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْكُنْتَ فَظًّاغَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا ِمْن حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْأَمْرِ ‘ فَإِذَاعَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ  {ال عمران :                   }

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, dan mohonkanlah mereka ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran: 159).

Dengan karunia akal, manusia berfikir, merenungkan tentang kemahakuasaan-Nya, yakni kemahaan yang tidak tertandingi oleh siapapun, akan tetapi manusia yang dilengkapi dengan potensi-potensi positif memungkinkan dirinya untuk menirukan fungsi ke mahakuasaan-Nya itu. Sebab dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah, yakni fitran suci yang selalu memproyeksikan tentang kebaikan dari keindahan, sehingga tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan dzikir kepada-Nya, berarti manusia tengah menjalani fungsi al-Quddus. Ketika manusia berbelah kasih dan bebuat baik kepada tetangga dan sesamanya, maka berarti ia telah memerankan fungsi ar-Rahman dan ar-Rahim. Ketika manusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi al-Ghoniyya. Dengan demikian pula,dengan peran ke-maha-an Allah yang lain, as-Salam, al-Mun’im dan sebagainya. (Al-Baqoroh ayat 213)

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَّاحِدَةً ‘ فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّيْنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَاخْتَلَفُوافِيْهِ ‘ وَمَااخْتَلَفَ فِيْهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ أًُوْتُوْهُ مِنْ بَعْدِمَاجَاءَ تْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًابَيْنَهُمْ ‘ فَهَدَاللهُ الَّذِيْنَ آ مَنُوْالِمَااخْتَلَفُوْافِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ ‘ وَاللهُ يَهْدِى مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ   {البقرة :                      }

Artinya: Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Baqarah: 213).

Di dalam melakukan pekerjaannya manusia diberi kemerdekaan untuk memilih dan menentukan dengan cara yang paling disukai. (Al-A’raf ayat 54, Hud ayat 7, Ibrahim ayat 32, An-Nahl ayat 3, Bani Isroil ayat 44, Al-Ankabut ayat 44, Luqman ayat 10, Al-Zumar ayat 5, Qaf ayat 38, Al-Furqan ayat 59, Al-Hadid ayat 4)

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِىْ سِتَّةِ أَياَّمٍ ثُمَّ اْستَوَى عَلَى الْعَرْشِ ‘ يُغْشِى اللِّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيْثًاوَّالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ ‘ اَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ   {الأعراف :               }

Artinya: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah mencipatakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-A’raf: 54).

وَهُوَالَّذِى خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِى سِتَّةِ اَياَّمٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ َأيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً ‘ وَلَئِنْ قُلْتَ اِنَّكُمْ مَبْعُوْثُوْنَ مِنْ بَعْدِالْمَوْتِ لَيَقُوْلَنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْااِنْ هَذَاإِلاَّسِحْرٌمُّبِيْنٌ  {هود :             }

Artinya: Dan dialah yang mencipatakan langit dan bumi dalam enam masa dan adalah ‘Ars-Nya (singgasanan-Nya) di atas air, agar Dia menguji kamu berkata (kepada penduduk Mekah) : “Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati”, niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata : “ini tidak lain hnyalah sihir yang nyata”. (QS. Huud: 7).

اَللهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًالَكُمْ  ‘ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِى اْلبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اْلأَنْهَاَر  {إبراهيم :             }

Artinya: Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya. Dan Dia telah menundukkan pula bagimu sungai-sungai. (QS. Ibrahim: 32).

خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ بِالْحَقِّ تَعَالَى عَمَّايُشْرِكُوْنَ  {النحل :              }

Artinya: Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq. Maha Tinggi Allah daripada apa yang mereka persekutukan. (QS. An-Nahl: 3).

تُسَبَّحُ لَهُ السَّمَوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّ ‘ وَإِنْ مِّنْ شَيْئٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لاَتَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيْمًاغَفُوْرًا  {الإسراء :                    }

Artinya: Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi  Maha pengampun. (QS. Al-Isra’: 44).

خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ بِالْحَقِّ إِنَّ فِى ذَلِكَ َلاَيَةً لِّلْمُؤْمِنِيْنَ  {العنكبوت :                     }

Artinya: Allah menciptakan langit dan bumi dengan haq. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mukmin. (QS. Al-’Ankabut: 44).

خَلَقَ السَّمَوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍتَرَوْنَهَاوَاَلْقَى فِى اْلاَرْضِ رَوَاِسىَ اَنْ تَعِيْدَبِكُمْ وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ ُكلِّ دآبَّةٍ وَاَنْزَلْنَامِنَ السَّمَاِء مَاءًفَأَنْبَتْنَافِيْهَامِنْ ُكلِّ زَوْجٍ كَرِيْمٍ  {لقمان :              }

Artinya: Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya. Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi, supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu dan memperkembang-biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan kami turunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. (QS. Luqman: 10).

خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ بِالْحَقِّ يُكَوِّرُاللَّيْلَ عَلَى النَّهَاِر َوُيكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ  ‘  كُلٌّ يَجْرِىْ ِلأَجَلٍ مُّسَمَّى ‘

اَلاَ هُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفَّارُ   {الزمر :                   }

Artinya: Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan, Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Az-Zumar: 5).

وَلَقَدْخَلَقْنَاالسَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ وَمَابَيْنَهُمَافِىسِتَّةِ اَياَّمٍ وَمَامَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ   {ق :                 }

Artinya: Dan sesungguhnya telah kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan. (QS. Qaf: 38).

َالَّذِى خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ وَمَابَيْنَهُمَا فِى سِتَّةِ اَياَّمٍ ثُمَ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ ‘  اَلرَّحْمَنُ فَاسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا      {الفرقان :            }

Artinya:  Yang mencipatakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia. (QS. Al-Furqan: 59).

هُوَالَّذِىْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ فِىْ سِتَّةِ اَياَّمٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلىَ الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَايَلِجُ فِى اْلاَرْضِ وَمَايَخْرُجُ مِنْهَا وَيَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَايَعْرُجُ  فِيْهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَاكُنْتُمْ وَاللهُ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ  {الحديد :                }

Artinya: Dialah yang mencipatkan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ’Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid: 4).

Dari semua tingkah lakunya manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai dengan apa yang telah diupayakan. Karenanya manusia dituntut untuk selalu memfungsikan secara maksimal kemerdekaan yang dimilikinya, baik secara perorangan mnaupun secara bersama-sama di tengah-tengah kehidupan alam dan kerumunan masyarakat. (Al-Ra’d ayat 8, Al-Hijr ayat 21, Al-An’am ayat 96, Yasin ayat 38, Al-Sajadah ayat 12, Al-Furqan ayat 2, Al-Qomr ayat 49)

اَللهُ يَعْلَمُ مَاتَحْمِلُ كُلُّ أُنثْىَ وَمَاتَعِيْدُاْلأَرْحَامُ وَمَاتَزْدَادُ وَكُلُّ شَيْئٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ  {الرعد :               }

Artinya: Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. (QS. Ar-Ra’du: 8).

وَإِنْ مِّنْ شَيْئٍ اِلاَّ عِنْدَهُ خَزَآئِنُهُ وَمَانُنَزِّلُهُ اِلاَّبِقَدَرٍ مَّعْلُوْمٍ  {الحجر :           }

Artinya: Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi kamilah khazanahnya, dan kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran yang tertentu. (QS. Al-Hijr: 21).

فَالِقُ اْلإِصْبَاحِ وَجَعَلَ الَّيْلَ سَكَنًاوَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيْرُالْعَزِيْزِالْعَلِيْمِ  {الأنعام :              }

Artinya: Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan menjadikan matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang maha perkasa lagi maha mengetahui. (QS. Al-An’am: 96).

وَالشَّمْسُ تَجْرِى لِمُسْتَقَرٍّلهَاَذَلِكَ تَقْدِيْرُالْعَزِيْزِالْعَلِيْمِ  {يس :                 }

Artinya: Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikian ketetapan yang maha perkasa lagi maha mengetahui. (QS. Yasin: 38).

وَلَوْتَرَىإِذِى الْمُجْرِمُوْنَ نَاكِسُوْارُءُوْسِهِمْ عِنْدَرَبِّهِمْ رَبَّنِاأَبْصَرْنَاوَسَمِعْنَافَارْجِعْنَانَعْمَلْ صَالِحًاإِنَّامُوْقِنُوْنَ         السجدة :             }

Artinya:  Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu sekalian melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): ”Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia) kami akan mengerjakan amal shaleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin. (QS. As-Sajadah: 12).

َالَّذِى لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيْكٌ فِى الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْئٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيْرًا       {الفرقان :              }

Artinya:  Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dan tidak mempunyai anak dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan-Nya, dan Dia telah menciptakan segala sesuatu. Dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS. Al-Furqan: 2).

إِناَّكُلَّ شَيْئٍ خَلَقْنَاهُ ِبقَدَرٍ   {القمر :                    }

Artinya: Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (QS. Al-Qomar: 49).

Sekalipun di dalam diri manusia dikaruniai kemerdekaan sebagai esensi kemanusiaan untuk menentukan dirinya, namun kemerdekaan itu selalu dipagari oleh keterbatasan-keterbatasan, sebab perputaran itu semata-mata tetap dikendalikan oleh kepastian-kepastian yang maha adil dan bijaksana. Semua alam semesta selalu tunduk pada sunnah-Nya, pada keharusan universal atau taqdir. (Al-Baqoroh ayat 164, Al-Imron ayat 164, Yunus ayat 5, AN-Nahl ayat 12, Al-Rum ayat 22, Al-Jatsiyah ayat 3)

اِنَّ فِى خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِى تَجْرِى فِى اْلبَحْرِبِمَايَنْفَعُ النَّاسَ وَمَاأَنْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَاءِ ِممَّاءٍ فَأَحْيَابِهِ اْلأَرْضَ بَعْدَمَوْتِهَاوَبَثَّ فِيْهَامِنْ كُلِّ دَآبِّةٍ وَتَصْرِيْفِ الرِّياَحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاِء وَاْلأَرْضِ َلاَياَتٍ  لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ {البقرة:                 }

Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di launt membawa apa yang berguna bagi manusia dan  apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering). Dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan kisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkannya. (QS. Al-Baqarah: 164).

هُوَ الَّذِى جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وِّالْقَمَرَ نُوْرًاوَّقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْاعَدَدَالسِّنِيْنَ وَالحِْسَابَ مَاخَلَقَ اللهُ ذَلِكَ اِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلاَياَتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ   {يونس  :     }

Artinya: Dialah yang menciptakan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu), Allah tidak mencipatakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus: 5).

وَسَخَّرَلَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَوَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ  إِنَّ فِى ذَلِكَ لَاَياَتٍ لِّقَوْمٍ  يَّعْقِلُوْنَ          {النحل :                 }

Artinya: Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan untukmu dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi kaum yang memahaminya. (QS. An-Nahl: 12).

وَمِنْ اَياَتِهِ خَلْقُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفُ َالْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِى ذَلِكَ َلاَياَتٍ لِّلْعَالِمِيْنَ  {الروم :                    }

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lain bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Ar-Rum: 22).

إِنَ فِى السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ َلاَياَتٍ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ {الجاثية :                }

Artinya: Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. (QS. Al-Jatsiyah: 3).

Jadi manusia bebas berbuat dan berusaha untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah dia menjadi mukmin atau kafir, pandai atau bodoh. Manusia harus berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak terlalu cepat puas dengan hasil jerih payah dan karyanya.

  • HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA

Kenyataan bahwa Allah meniupkan ruhNya kepada materi dasar manusia, menunjukan bahwa manusia berkedudukan mulia diantara ciptaan Allah yang lain. Kesadaran moral dan keberaniannya untuk memikul tanggung jawab dan amanat dari Allah yang disertai dengan mawas diri menunjukkan posisi dan kedudukannya (Al-Mu’minun ayat 115).

أَفَحِسْبتُمْ أَنمَّاَخَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَاَنكَّمُ ْإِلَيْنَالاَتُرْجَعُوْنَ  {المؤمنون :              }

Artinya: Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya kami mencipatakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?. (QS. Al-Mukminun: 115).

Mamahami ketinggian eksistensi dan potensi yang dimiliki oleh manusia, manusia mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan lainnya. Sebagai warga dunia, manusia harus berjuang dan menunjukkan peran yang dicita-citakan. Tidak ada yang lebih antara yang satu dengan lainnya, kecuali ketaqwaannya (Al-Hujurat, ayat 13).

يَاَأيهُّاَالنَّاسُ إِناَّخَلَقْناَكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّأُنثْىَ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْباًوَّقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْاإِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ {الحجرات :                      }

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13).

Setiap manusia memiliki kekurangan (At-Takatsur; Al-Humazah; Al-Ma’un; Az-Zumar ayat 49; Al-Hajj ayat 66)

َالْهَكُمُ التَّكَاثُرُ ‘ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ ‘ كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ ‘ ثُمَّ كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ ‘ كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ ‘ لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمِ ‘ ثُمَّ لَتَرَوُنهَّاَعَيْنَ الْيَقِيْنِ ‘ ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍعَنِ النَّعِيْمِ {التكاثر :                       }

Artinya: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk kedalam kubur, janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui, janganlah begitu jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang ayakin, niscaya kamu akan benar-benar melihat neraka jahim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yakin, kemudian kamu pasti akan ditanyakan pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. At-Takatsur: 1-8).

َويْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَ ةٍ ‘ َالَّذِى جَمَعَ مَالاً وَّعَدَّدَهُ ‘ يَحْسَبُ َأنمَّاَلَهُ أَخْلَدَهُ ‘ كَلاَّ لَيُنْبَذَنَّ فِى الْحُطَمَةِ ‘ وَمَاأَدْرَاكَ مَاالْحُطَمَةُ ‘ نَارُاللهِ الْمُوْقَدَةُ ‘ الَّتِى تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ ‘ إِنَّهَاعَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ ‘ فِىْ عَمَدٍمُّمَدَّدَةٍ  {الهمزة :                            }

Artinya: Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak “sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Hutamah”, Dan tahukan kamu apa Huthamah itu?, Yaitu api yang disediakan Allah yang dinyalakan, yang membakar sampai ke hati, sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, sedang mereka itu diikat pada tiang-tiang yang panjang. (QS. Al-Humadzah: 1-9).

اَرَاَيْتَ الَّذِى يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ ‘ فَذَلِكَ الَّذِى يَدُعُّ الْيَتِيْمَ ‘ وَلاَ يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ ‘ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ ‘ َالَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَ تِهِمْ سَاهُوْنَ ‘ َالَّذِيْنَ هُمْ يُرَاءُوْنَ ‘ وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ {الماعون :                      }

Artinya: Tahukan kamu orang yang mendustakan agama?, itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan menolong dengan barang berguna. (QS. Al-Ma’un: 1-7).

فَإِذَامَسَّ اْلإِنْسَانَ ضُرٌّدَعَانَاثُمَّ اِذَاخَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّاقَالَ إِنَّمَاأُوْتِيْتُهُ عَلَىعِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ    {الزمر :         }

Artinya:  Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: “Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku”, Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. (QS. Az-Zumar: 49).

وَهُوَ الَّذِى اَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَكَفُوْرٌ  {الحج :            }

Artinya: Dan dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi). Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat mengingkari nikmat. (QS. Al-Hjj: 66).

Dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya (al-Mu’minun, 57-61).

إِنَّ الَّذِيْنَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُوْنَ ‘ وَالَّذِيْنَ هُمْ بِاَيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُوْنَ ‘ وَالَّذِيْنَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لاَ ُيشْرِكُوْنَ ‘ وَالَّذِيْنَ ُيؤْتُوْنَ مَااَتَوْاوَقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اِنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُوْنَ ‘ اُلئَِكَ يُسَارِعُوْنَ فِى الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَاسَابِقُوْنَ {المؤمنون :                   }

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan adzab Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun).  Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (QS. Ah-Mu’minun: 57-61).

Tetapi ada pula yang terlalu menonjolkan potensi kelemahannya, karena kesadaran ini, manusia harus saling menolong, saling menghormati, bekerjasama, menasehati dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama (QS. Ali Imran ayat  103; An-Nisa’ ayat 36-39)

وَاعْتَصِمُوْابِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًاوَلاَ تَفَرَّقُوْا وَاذْكُرُوْانِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْكُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَاحُفْرَةٍ  مِنَ النَّارِ فَأنَقْذَكُمْ مِنْهَا‘ كَذَلِكَ  يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ{ال عمران :               }

Artinya: Dan berpeganglah kamu kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikian Allah menerangkan ayat-atat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali-Imran: 103).

وَاعْبُدُوااللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًاوَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِى الْقُرْبىَ وَالْيَتَمَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْجَارِذِى الْقُرْبَى وَالْجَارِى الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِبِ الْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيْلِ  وَمَامَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُوْرًا. َالَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ مَااَتَهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاَعْتَدْنَالِلْكَافِرِيْنَ عَذَابًامُهِيْنًا. وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَالنَّاسِ وَلاَيُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْم ِالْاَخِرِ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِيْنًافَسَاءَ قَرِيْنًا. وَمَاذَاعَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوْا بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ وَأَنْفَقُوْا ِممَّارَزَقَهُمُ اللهُ وَكَانَ اللهُ بِهِمْ عَلِيْمًا  {النساء :                           }

Artinya: Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS. An-Nisa’: 36-39).

Manusia telah dan harus selalu mengembangkan tanggapannya terhadap kehidupan. Tangagapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian, maka hasil itu merupakan budaya manusia yang sebagian dapat dirubah. Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan manusia, inipun dilakukan dengan selalu memuat nilai-nilai sehingga budaya yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dan nilai-nilai tersebut dilestarikan, sedangkan budaya yang tidak bersesuaian dapat diperbarui.

Kerangka bersikap tersebut mengisyaratkan adanya upaya bergerak secara dinamis, kreatif dan kritis dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut memanfaatkan potensinya yang telah dianugerahkan oleh Allah melalui pemanfaatan potensi diri tersebut sehingga manusia menyadari asal mulanya kejadian dan makna kehadirannya di dunia.

Dengan demikian pengembangan berbagai aspek budaya dan tradisi dalam kehidupan manusia dilaksanakan sesuai dengan nilai dari semangat yang dijiwai oleh sikap kritis yang senantiasa berada dalam religiusitas. Manusia dan alam selaras dengan perkembangan kehidupan dan mengingat perkembangan suasana. Memang manusia harus menegakkan iman, taqwa dan amal sholeh guna mewujudkan kehidupan yang baik dan penuh rahmat di dunia. Di dalam kehidupan dunia itu, sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing, bersederajat, berlaku adil dan mengusahakan kebahagiaan bersama. Untuk itu diperlukan usaha bersama yang harus didahului dengan sikap keterbukaan, komunikasi dan dialog yang egaliter dan setara antar sesama. Semua usaha dan perjuangan ini harus terus menerus dilakukan sepanjang sejarah.

Melalui pandangan seperti ini pula kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dikembangkan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan kerelaan dan kesepakatan untuk bekerjasama serta berdampingan setara dan saling pengertian. Bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita bersama yakni, hidup dalam kemajuan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Tolak ukur bernegara adalah keadialan, persamaan hukum serta adanya permusyawaratan.

Sedangkan hubungan antar muslim dan non muslim dilakukan guna membina kehidupan manusia dengan tanpa mengorbankan keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran Islam sebagai ajaran kehidupan yang paripurna. Dengan tetap berpegang pada keyakinan ini. Dibina hubungan dan kerja sama secara damai dalam mencapai cita-cita bersama umat manusia (al- Kaafirun).

قُلْ يَاَأيُّهَاالْكَافِرُوْنَ  ‘  لاَ أَعْبُدُمَاتَعْبُدُوْنَ  ‘  وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَاأَعْبُدُ  ‘  وَلاَ اَناَعَابِدٌمَاعَبَدْتُمْ  ‘  وَلَا َأنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَاأَعْبُدُ  ‘  لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَدِيْنَ  {الكافرون :                }

Artinya: Katakan: Hai orang-orang yang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah menjadi penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamamku. (QS. Al-Kafirun: 1-6).

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudaraan antar insan pergerakan, persaudaraan sesama umat Islam  (al-Hujuraat, 9-10),

وَاِنْ طَائِفَتَانِ مِن َالْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْافَأَصْلِحُوْابَيْنَهُمَا ‘  فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَىهُمَاعَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُواالَّتِى تَبْغِى حَتَّى تَفِىءَ اِلَى اَمْرِاللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوْابَيْنَهُمَابِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوْاإِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ  .   إِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْابَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوااللهَ لَعَلَّكُمْ ُترْحَمُوْنَ   {الخجرات :                 }

Artinya: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan kit kembali kepada perintah Allah, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujurat: 9-10).

Persaudaraan sesama warga negara dan persaudaraan sesama umat manusia. Perilaku persaudaraan ini harus menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapat memberikan manfaat  maksimal untuk diri dan lingkungannya.

  • HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM

Alam semesta adalah ciptaan Allah. (Hud, 61; al-Qoshash, 77).

وَاِلَى ثَمُوْدَأَخَاهُمْ صَالِحًا ‘  قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوااللهَ مَالَكُمْ مِنْ اِلَهٍِ غَيْرهُ ‘  هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَافَاسْتَغْفِرُوْهُ ثُمَّ تُوْبُوْاإِلَيْهِ إِنَّ رَبىِّ قَرِيْبٌ مُجِيْب  {هود :            }

Artinya: Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh, Shaleh berkata: “Hai kaumku sambahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurannya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepadanya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do’a hamba-Nya). (QS. Huud: 61).

وَابْتَغِ فِيْمَااَتَكَ اللهُ الدَّارَ اْلاَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَاوَاَحْسِنْ كَمَااَحْسَنَ اللهُ اِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَفِى اْلاَ رْضِ اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ {القصص :                     }

Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Ah-Qhashash: 77).

Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya. (An-Nahl, 122; Al-Baqoroh, 130; Al-Ankabut, 38).

وَاَتَيْنَاهُ فِى الدُّنْيَاحَسَنَة ًوَاِنَّهُ فِى اْلاَخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِيْنَ  {النحل :            }

Artinya: Dan kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. (QS. An-Nahl: 122).

وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيْمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِاصْطَفَيْنَاهُ فِى الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِى الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِيْنَ     {البقرة :                   }

Artinya: Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang-orang yang memperbodoh diri mereka sendiri, dan sungguh kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Al-Baqarah: 130).

وَعَادًاوَثَمُوْدَاوَقَدْتَبَيَّنَ لَكُمْ ِمنْ مَسَاكِنِهِمْ  ‘  وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ اَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيْلِ وَكَانُوْامُسْتَبْصِرِيْنَ   {العنكبوت  :         }

Artinya: Dan juga kaum ‘Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu (kehancuran mereka) dari (puing-puing) tempat tinggal mereka. Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan. (QS. Al-Ankabut: 38).

Alam juga menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. (Al-Ankabut, 64; Al-jaatsiyah, 3,4,5).

وَمَاهَذِهِ الْحَيَوةُ الدُّنْيَآ اِلاَّ لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَاِنَّ الدَّارَ اْلاَ خِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ  {العنكبوت :                   }

Artinya: Dan tidak adalah kehidupan dunia ini, melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan kalau mereka mengetahui. (QS. Al-Ankabut: 64).

إِنَ فِى السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ َلاَياَتٍ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ  ‘  وَفِى خَلْقِكُمْ وَمَايَبُثُّ مِنْ دَآبَّةٍ اَيَاتٌ لِِّقَوْمٍ يُوْقِنُوْنَ  ‘  وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَاِر وَمَااَنْزَلَ اللهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ رِّزْقٍِ فَاَحْيَابِهِ الْاَرْضَ بَعْدَمَوْتِهَاوَتَصْرِيْفِ الرِّياَحِ اَيَاتٌ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ    {الجاثية :                    }

Artinya: Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata, yang bertebaran di muka bumi terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk kaum yang meyakini. Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkannya dengan air hujan itu bumi perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berakal.  (QS. Al-Jatsiyah: 3-5).

Berarti juga nilai tauhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam. Sebagai ciptaan Allah, alam bekedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam bagi manusia (al-Syura, 20; Yusuf, 109; al-Anam, 32; al-Baqoroh, 29)

قَالَ فَعَلْتُهَاإِذًاوَاَناَمِنَ الضَّالِّيْنَ   {الشعراء :               }

Artinya: Berkata Musa: “Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. (QS. Asy-Syu’ara: 20).

وَمَااَرْسَلْنَامِنْ قَبْلِكَ اِلاَّ رِجَالاً نُوْحِى اِلَيْهِمْ مِنْ اَهْلِ الْقُرَى  اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى اْلاَرْضِ فَيَنْظُرُوْاكَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ  وَلَدَارُ اْلاَخِرَةِ خَيْرُ لِّلَّذِيْنَ اتَّقَوْاأَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ  {يوسف :                     }

Artinya:  Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyi kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidaklah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaiman kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya. (QS. Yusuf: 109).

وَمَاالْحَيَوةُ الدُّنْيَآ اِلاَّ لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ اْلاَخِرَةُ خَيْرٌ الِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ  {الانعام :                  }

Artinya: Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung kahirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, Maka tidakkah kamu memahaminya?.

هُوَ الَّذِى خَلَقَكُمْ مَافِى الْاَرْضِ جَمِيْعًاثُمَّ اسْتَوَى اِلَى السَّمَاِء فَسَوَّى هُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ              {البقرة :       }

Artinya: Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 29).

Dan bukan sebaliknya. Jika sebaliknya yang terjadi maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam. Bukan penghambaan kapada Allah. Allah mendudukkan manusia sebagai khalifah  (al-Baqoroh, 30).

وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى اْلأَرْضِ خَلِيْفَةً ‘ قَالُوْاأَتَجْعَلُ فِيْهَامَنْ يُفْسِدُفِيْهَاوَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ ‘ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ‘ قَالَ إِنِّى أَعْلَمُ مَالَا تَعْلَمُوْنَ {البقرة :             }

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: ” Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau?”. Allah berfirman: ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 30).

Sudah  sepantasnya manusia menjadikan bumi maupun alam sebagai wahana dalam bertauhid dan menegaskan keberadaan dirinya (al-Jaatsiyah, 12, 13; al-Ghaasyiyah, 17-26),

اَللهُ الَّذِى سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِىَ الْفُلْكُ فِيْهِ بِاَمْرِهَِ وَلِتَبْتَغُوْامِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ  .   وَسَخَّرَ لَكُمْ مَافِى السَّمَوَاتِ وَمَافِى اْلاَرْضِ جَمِيْعًامِنْهُ اِنَّ فِى ذَلِكَ لَاَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ   {الجاثية  :              }

Artinya: Allah-lah yang menundukkan lautan untukkmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan siezin-Nya, dan supaya kamu dapat mendari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. Al-Jatsiyah: 12-13).

اَفَلاَ يَنْظُرُوْنَ اِلَى اْلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ  ‘  وَاِلَى السَّمَاِء كَيْفَ رُفِعَتْ  ‘  وَاِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ  ‘  وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ  ‘  فَذَكِّرْ اِنَّمَااَنْتَ مُذَكَِّرٌ  ‘  لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ اِلاَّ مَنْ تَوَلَّى وَكَفَرَ  ‘  فَيُعَذِّبُهُ اللهُ الْعَذَابَ الْاَكْبَرَ  ‘  اِنَّ اِلَيْنَاِايَابَهُمْ   ‘  ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَاحِسَابَهُمْ   {الغاشية  :                   }

Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia dicipatakan?. Dan langit, bagaimana dia ditinggikan?. Dan bumi bagaimana dia dihamparkan?. Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberik peringatan. Kamu bukanlah orang yang kuasa atas mereka. Tetapi orang yang berpaling dan kafir. Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar. Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka. Kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka. (QS. Al-Ghosyiyah: 17-26).

Bukan menjadikannya sebagai obyek eksploitasi (ar-Rum, 41).

ظَهَرَ الْفَسَادُفِىالْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَاكَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِى عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ  {الروم :           }

Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Ruum: 41).

Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan untuk kebaikan akhirat. Di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal shaleh  (al-Baqarah, 62; al-A’ashr).

اِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُواوَالَّذِيْنَ هَادُوْاوَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِيْنَ مَنْ اَمَنَ بَاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًافَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَرَبِّهِمْ وَلاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ {البقرة :                  }

Artinya:   Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akahir dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 62).

وَالْعَصْرِ . اِنَّ اْلِانْسَانَ لَفِى خُسْرٍ . اِلاَّ الَّذِيْنَ اَمَنُوْاوَعَمِلُوْاالصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْابِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْابِالصَّبْرِ       {العصر :                }

Artinya:  Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan saling menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati suapay menetapi kebenaran. (QS. Al-’Ashr: 1-3).

Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan. Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam, memakmurkan bumi dan menyelenggarakan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap perkerjaan, nafkah dan masa depan, maka jelaslah pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama (al-Mu’minun, 17-22; al-Hajj, 65).

وَلَقَدْخَلَقْنَافَوْقَكُمْ سَبْعَ طَرَآئِقَ وَمَاكُنَّاعَنِ الْخَلْقِ غَافِلِيْنَ  .  وَاَنْزَلْنَامِنَ السَّمَاءِ مَاءًبِقَدَرٍ فَأَسْكَنَّاهُ فِى الْاَرْضِ وَاِناَّعَلَى ذَهَابٍ بِهِ لَقَادِرُوْنَ  .  فَأَنْشَأْناَلَكُمْ بِهِ جَنَّاتٌ مِنْ نَخِيْلٍ وَاَعْنَابٍ  لَكُمْ فِيْهَافَوَاكِهُ كَثِيْرَةٌ وَمِنْهَاتَأْكُلُوْنَ  .  وَشَجَرَةً تَخْرُجُ مِنْ طُوْرِسَيْنَاءَ تَنْبُتُ بِالدُّهْنِ وَصِبْغٍ لِّلْاَكِلِيْنَ  .  وَاِنَّ لَكُمْ فِى الْاَنْعَاِم لَعِبْرَةً نُسْقِيْكُمْ ِممَّافِى بُطُوْنِهَاوَلَكُمْ فِيْهَامَنَافِعُ كَثِيْرَةٌ وَمِنْهَا تَأْكُلُوْنَ  .  وَعَلَيْهَاوَعَلَى الْفُلْكِ كَيْفَ تُحْمَلُوْنَ   {المؤمنون  :  {

Artinya: Dan sesungguhnya kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit) dan Kami tidaklah lemah terhadap ciptaan kami. Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya. Lalu dengan air itu Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur, di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak dan sebagian dari buah-buahan itu kamu makan. Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak benar-benar terdapat pelajaran yang pending bagi kamu. Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan juga pada binatang-binatang ternak itu terdapat faidah yang banyak untuk kamu, dan sebagian darinya kamu makan. Dan di atas punggung binatang-binatang ternak itu dan juga di atas perahu-perahu kamu diangkut. (QS. Al-Mukminun: 17-22)

.

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَافِى اْلاَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِى فِى الْبَحْرِ بِاَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَاَنْ تَقَعَ عَلىَ اْلاَرْضِ اِلاَّبِإِذْنِهِ  اِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ  {الحج :                  }

Artinya:   Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bahimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al-Hjj: 65).

Hidup bersama antar manusia berarti hidup antar kerjasama. Tolong menolong dan tenggang rasa (Abasa, 17-32; an-Naazi’aat, 27-33).

قُتِلَ اْلاِنْسَانُ مَااَكْفَرَهُ . مِنْ اَيِّ شَيْئٍ خَلَقَهُ . مِنْ نُطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ . ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَهُ . ثُمَّ اَمَاتَهُ فَاَقْبَرَهُ . ثُمَّ اِذَاشَاءَ اَنْشَرَهُ  . كَلاَّ لَمَّايَقْضِ مَااَمَرَهُ . فَلْيَنْظُرِ اْلاِنْسَانُ اِلَى طَعَامِهِ . اَناَّصَبَبْنَاالْمَاءَ صَبًّا . ثُمَّ شَقَقْنَااْلاَرْضَ شَقًّا . َفَانْبَتْنَافِيْهَاحَبًّاوَعِنَبًاوَقَضْبًا.وَزَيْتُوْنًاوَنَخْلًا.وَحَدَائِقَ غُلْبًا.وَفَاكِهَةً وَاَبًا.مَتَاعًالَكُمْ َوِلاَنعْاَمِكُمْ {عبس:                 }

Artinya: Binasalah manusia, alangkah amat kekafirannya. Dari apakah Allah menciptakannya?. Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya kedalam kubur. Kemudian bila Dia menghendaki Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit). Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu. Anggur dan sayur-sayuran. Zaitun dan pohon kurma. Kebun-kebun yang lebat. Dan buah-buahan serta rumput-rumputan. Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu)… (QS. Abasa: 17-32).

ءَاَنْتُمْ اَشَدُّخَلْقًااَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا. رَفَعَ سَمْكَهَافَسَوَّىهَا. وَاَغْطَشَ لَيْلَهَاوَاَخْرَجَ ضُحَىهَا. اَخْرَجَ مِنْهَامَاءَهَاوَمَرْعَىهَا. وَالْجِبَالَ اَرْسَاهَا. مَتَاعًالَكُمْ وَلِاَنْعَامِكُمْ  {النازعات :                   }

Artinya: Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit?. Allah membangunnya. Dan meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya. Dan dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh. Semua itu untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. (QS. An-Nazi’at: 27-33).

Salah satu dari hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia. Dalam memanfaatkan alam diperlukan Iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan, dan hukum tersendiri. Alam perlu didayagunakan dengan tidak mengesampingkan sumber pengetahuan adalah Allah. Penguasaan dan pengembangannya disandarkan pada pemahaman terhadap ayat-ayat Nya. Ayat-ayat berupa wahyu dan seluruh ciptaan Nya. Untuk mengetahui dan mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah itulah manusia mengerahkan kesadaran moral, potensi kreatif berupa akal dan aktifitas intelektualnya.

Disini lalu diperlukan penalaran yang tinggi dan ijtihad yang utuh dan sistematis terhadap ayat-ayat Allah. Pengembangan pemahaman tersebut secara tersistematis dalam ilmu pengetahuan yang menghasilkan iptek juga menunjuk pada kebaharuan manusia yang terus berubah  pencitaan pengembangan dan pengusahaan terhadap Iptek merupakan keniscayaan yang sulit dihindari, jika manusia menginginkan kemudahan hidup untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama, usaha untuk memanfaatkan Iptek tersebut menuntut keadilan, kebenaran, kemanusiaan dan kedamaian. Semua hal tersebut dilaksanakan sepanjang hayat, seiring perjalanan usia dan keluasan Iptek, sehingga berbarengan dengan iman dan tauhid manusia dapat mengembangkan diri pada derajat yang tinggi.

BAB III

PENUTUP

Nilai –nilai Dasar Pergerakan (NDP) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dipergunakan sebagai landasan teologis, normatif dan etis dalam pola pikir dan perilaku warga PMII, baik secara perorangan maupun bersama-sama. Dengan ini dasar-dasar tersebut ditujukan untuk mewujudkan pribadi muslim Indonesia yang bertakwa kepada Allah, berbudi luhur, berilmu cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalakan ilmu pengetahuannya serta komitmen atas cita-cita kemerdekaan rakyat Indonesia. Sosok yang dituju adalah sosok insan kamil Indonesia yang kritis, inovatif, dan transformatif yang sadar akan posisi dan perannya sebagai khalifah di muka bumi.

Ditulis dalam Tentang PMII. Tag: , , . 7 Comments »

Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebagai Manhajul Fikr

  1. I. PENGANTAR

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian PMII. Dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan) disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari setiap anggota/kader organisasi kita. Akarnya tertananam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan Islam.

Selama ini proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan, bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori oleh KH Said Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu diperlakukan sebagai sebuah madzhab. Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, gugatan muncul melihat perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir).

PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.

Bagi PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan agama.

  1. II. SKETSA SEJARAH

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.

Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.

Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan dengan faham Jabariyah.

Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.

Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.

Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung – baik tergabung secara sadar maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.

  1. III. PENGERTIAN

Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).

Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat dan tabi’in.

Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.

Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?

Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya. Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab?

Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.

IV. ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR

Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai manhaj al-fikr. Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul Membaca Ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku tersebut merupakan rangkuman hasil Simposium Aswaja di Tulungagung. Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH Said Agil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya Aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja.

PMII memandang bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.

Sebagai manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat  tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.

Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak.

Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul PMII sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama, PMII pandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.

  1. V. PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ

Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah, pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.

  1. 1. AQIDAH

Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.

Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.

Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.

Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.

Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.

  1. 2. BIDANG SOSIAL POLITIK

Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).

Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:

  1. Prinsip Syura (musyawarah)

Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:

“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)

  1. Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)

Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan keadilan.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)

  1. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)

Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu:

  • Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
  • Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
  • Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
  • Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
  • Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.

Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern – bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.

  1. Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat, 49: 13)

Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)

Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.

Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.

  1. BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syari’ah)

Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:

  1. Al-Qur’an
  2. As-Sunnah
  3. Ijma’
  4. Qiyas

Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.

Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.

As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.

Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.

Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: 115  “Dan barang siapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” Dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah, 2:  143.

Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.

  1. 5. TASAWUF

Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa pun.”

Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.”

“berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid, lalu “menyucikan hati dari apa saja selain Allah…. Mereka (kaum Sufi) telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.

Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.

Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara,  Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.

Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.

VI. PENUTUP

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan sangat mungkin terjadi.

Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar teknikalitas sama tinggi dengan metode ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang telah kami sajikan di sini, yang sangat butuh banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per langkah tindakan dan pandangan gerakan, akan muncul kemudian apabila kenyataan lapangan sungguh-sungguh menuntut dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang kebutuhan primer kolektif kita masih terletak pada memahami, hal semacam itu kami pandang belum menjadi kebutuhan objektif[.]

Globalisasi dan Perlawanan

Oleh Chris Harman.

“Anti-capitalism: Theory and Practice”, International Socialism No 88, London, 2000. Disadur dan ditejermahkan oleh Julian dan Setiabudi.

Pada tahun 1999, mass media di seluruh dunia ramai-ramai membicarakan fenomena baru: gerakan “anti-kapitalisme” internasional. Istilah ini muncul untuk pertama kalinya di Inggeris di bulan Juni, saat lembaga-lembaga finansial di London kena aksi unjuk rasa. Kemudian aksi besar-besaran melawan pertemuan WTO di Seattle di bulan November juga dicap “anti-kapitalis”. Arti kata “anti-kapitalisme” bukan sama dengan sosialis, tetapi fenomena ini memang hebat. Sepuluh tahun setelah kaum penguasa kapitalis berjaya saat rezim-rezim Eropa Timur ambruk, sebuah peristiwa yang didengungkan sebagai kemenangan mutlak pasar bebas, mass media borjuis harus mengakui bahwa semakin banyak manusia menolak sistem mereka.

Suasana anti-kapitalis menjadi cukup jelas dalam demonstrasi yang terjadi secara berturut-turut di Washington, Melbourne, Praha, Millau dan Nice, tetapi termanifestasi dalam bentuk lain pula: misalnya ketika sejuta warga Perancis mencoblos calon-calon Trotskys dalam pemilihan untuk parlemen Eropa. Di Eropa Timur, hasil jajak-jajak pendapat membuktikan bahwa kata “kapitalisme” memiliki asosisasi negatif bagi mayoritas rakyat. Di Amerika Latin telah terjadi serangkaian pemberontakan melawan agenda neoliberal. Demonstrasi-demonstrasi hanya merupakan puncak dari gunung es ketidakpuasan massa rakyat tertindas di seluruh dunia.

Demonstrasi anti-WTO di Seattle tentu saja harus menjadi titik tolak bagi diskusi kita. Banyak sekali kelompok dari seluruh dunia dan dari bermacam-macam sektor yang bersatu dalam aksi tersebut. Seperti tulis Luis Hernandez Navarro, seorang wartawan dari koran harian radikal La Jornada di Meksiko: “Kaum pecinta alam, petani dari Dunia Pertama, anggota serikat buruh, feminis, punk, aktivis HAM, wakil masyarakat adat, anak muda dan orang separo baya, warga Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Amerika Latin dan Asia” berkumpul di Seattle waktu itu. Kata dia, mereka semua bersatu dalam menolak slogan “Semua kekuatan untuk perusahaan-perusahaan transnasional!” yang menjadi agenda WTO.

Aksi protes itu menonjolkan sisi spontan; banyak orang yang mendengar tentang demo itu dan berangkat begitu saja. Namun dari sisi lain, banyak pendemo yang terlibat dalam organisasi yang bekerja keras selama berbulan-bulan untuk setting demo itu, dengan menjalin hubungan melalui internet, dan juga mempropagandakan isu-isu globalisasi dan perlawanan. Sejumlah pemikir terkemuka sangat berjasa pula dalam mengupas isu-isu ini, seperti Walden Bello, Susan George, Vandana Shiva, Noam Chomsky, Naomi Klein dan Pierre Bourdieu.

Menolak agenda neo-lib

Doktrin-doktrin neo-liberal pertama diucapkan dalam ideologi konservatif yang dijuluki “Thatcherism” di Inggeris dan “Reaganomics” di Amerika. Kemudian logika neo-lib disambut oleh golongan sosial demokratik dalam program “The Third Way” yang juga pro-kapitalis. Ide-ide neoliberal menjadi pondasi bagi kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga interasional seperti WTO, IMF dan Bank Dunia, dan program-program “reformasi ekonomi” yang diajukan oleh para politikus dan ahli ekonomi.

Pilar utama ideologi neolib adalah, bahwa aparatus negara seharusnya tidak ikut berperan dalam kegiatan-kegiatan pokok ekonomi nasional maupun internasional. Kita diajak kembali ke gagasan ortodoks yang bercokol sebelum depresi tahun 1930-an, yang dianjurkan oleh Adam Smith dan dipopularisasikan oleh Jean-Baptiste Say. Gagasan ini dikenal sebagai “liberalisme ekonomi” waktu itu, jadi versi baru dikenal dengan nama “neo-liberalisme”. Para penyokongnya mau menurunkan pajak dari profit-profit kapitalis dan gaji tinggi, menjual BUMN kepada pihak swasta, melemahkan regulasi-regulasi yang mengurusi tindakan perusahaan-perusahaan, serta menghapuskan semua proteksi ekonomi yang dilakukan melalui bea cukai.

Menurut argumentasi mereka, segala intervensi pemerintah di dunia ekonomi semenjak tahun 1930-an hanya mengakibatkan industri-industri menjadi pemboros yang tidak efisien. Ambruknya blok Soviet, serta kemandegan dan kesengsaraan Amerika Selatan dan Afrika, menurut mereka telah membuktikan betapa celakanya konsekwensi intervensi pemerintah. Kemiskinan di dunia ketiga hanya dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan pasar bebas yang tak kenal ampun, melalui kegiatan WTO, IMF dan Bank Dunia.

Bila usaha-usaha ekonomi di”bebas”kan dari kontrol yang “semena-mena” itu, katanya nasib umat manusia bisa diperbaiki secara menyeluruh. Modal dapat mengalir dengan leluasa ke mana saja diperlukan sehingga barang-barang dan jasa-jasa akan dihasilkan di tempat yang paling cocok. Modal yang sudah terakumulasi tidak akan lagi tertambat dalam industri-industri “berkarat” yang tak berdayaguna, dan “monopoli tenaga kerja” yang dikuasai oleh serikat-serikat buruh jahat tidak lagi bisa menghalangi kenaikan produktivitas kerja secara “dinamis”. Daerah-daerah dunia masing-masing dapat mengkhususkan dalam bidang produksi di mana mereka lebih mampu. Boleh jadi melalui proses-proses ini kaum kaya akan menjadi lebih kaya lagi, tetapi tidak apa-apa, karena lewat tumbuhnya penghasilan ekonomi secara umum, kekayaan itu akan bercucur ke bawah secara dikit berdikit (trickle down) untuk memperkaya rakyat jelata pula. Demikian argumentasi mereka.

Pandangan “neoliberal” semacam ini biasanya berasosiasi dengan teori “globalisasi”. Menurut teori itu, restrukturalisasi dunia telah terjadi sehingga pengaliran modal bebas tanpa intervensi oleh pemerintah-pemerintah sudah tercapai. Kita sedang menghayati zaman kapitalisme multinasional (atau transnasional). Aparatus-aparatus negara adalah lembaga-lembaga yang kadaluwarsa, yang tidak lagi sanggup menghalangi perusahaan-perusahaan berpindah-pindah guna mencari keuntungan. Bila pemerintah-pemerintah ngotot berusaha melakukan halangan yang demikian, ekonomi mereka cuma akan menjadi ekonomi “terkepung” seperti Korea Utara atau Kombodja di bawah Pol Pot; dan bagaimanapun juga mereka tidak bisa melakukan hal itu karena para pemilik modal terlalu cerdik dan selalu akan mengelabui pemerintah-pemerintah tersebut. Sebuah pemerintah yang mengasihani para warganya paling banter bisa menyediakan lingkungan ekonomi yang paling menarik bagi para investor: pajak rendah, tenaga kerja “fleksibel”, serikat buruh lemah, regulasi minimal.

Beberapa orang neolib yang mengaku sosial-demokratik (contohnya Anthony Giddens, yang menyiapkan teori-teori demi membenarkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Tony Blair di Inggeris), mengakui bahwa di masa lampau, intervensi oleh negara terkadang berperan positif. Namun menurut mereka, timbulnya sebuah ekonomi global telah merubah situasi politik. Dewasa ini, kontrol-kontrol atas kehidupan ekonomi hanya menghadirkan ketidakefisienan melulu, dan jika ekonomi tidak efisien, pasti kita kandas. Sehingga “globalisasi” dan “neoliberalisme” merupakan dua konsep yang berkaitan erat.

Dalam versi teori globalisasi tertentu yang agak berpengaruh, kemampuan modal untuk bercucuran ke sini-sana dengan leluasa sudah menjadi hal yang mutlak. Menurut pandangan ini, kita menghayati era “produksi tanpa bobot” (weightless production). Komputer, perangkat lunak dan internet sudah jauh lebih penting dibandingkan produk-produk logam yang “kadaluwarsa”, dan perusahaan-perusahaan bisa luput dengan mudah dari genggaman negara-negara dengan memindahkan alat-alat produksi mereka secepat kilat. Negeri-negeri maju sudah bersifat paska-industrial, dan kelas perkerja di barat tidak lagi merupakan kekuatan yang berarti, karena industri manufaktur sedang berpindah ke dunia ketiga. Tinggal semacam masyarakat “sepertiga”: di satu sisi ada kelas menengah (sepertiga dari penduduk) yang mempunyai cukup keterampilan (human capital) untuk mendapatkan gaji tinggi — sedangkan di sisi lain “proletariat bawah” paling-paling bisa mencari pekerjaan sementara yang “fleksibel” dan tak terampil, dengan upah yang tidak bisa naik menjadi terlalu tinggi karena tersaingi oleh barang-barang murahan dari dunia ketiga.

Sementara itu, di dunia ketiga, massa rakyat tidak mempunyai pilihan lain kecuali menawarkan diri sebagai tenaga kerja murahan untuk perusahaan-perusahaan multinasional, dengan upah yang melarat. Pemerintah-pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengajak rakyat menyambut pasar bebas internasional. Industri pertanian mesti dibentuk kembali guna menghasilkan barang-barang yang bisa dijual di pasaran global. Pajak untuk membiayai dinas kesehatan, kesejahteraan serta pendidikan rakyat harus diminimalkan. Kaum buruh harus membanting tulang untuk menyambung hidup. Demikian skenario “globalisasi” ekstrim.

Namun para pengritik telah mengekspos banyak sekali kontradiksi dan kesalahan dalam doktrin-doktrin ini. Mereka sudah membuktikan bahwa negara-negara dunia ketiga yang menyambut pasar bebas biasanya tidak mengalami perbaikan nasib apapun. Selama dua dasawarsa “globalisasi”, kondisi kebanyakan penduduk Afrika dan Amerika Selatan telah merosot. Penyerahan bidang tanah yang besar untuk pertanian monokultur sama sekali tidak meningkatkan pendapatan kaum tani, karena barang-barang yang sama juga dihasilkan di negara-negara lain sehingga harga-harga menurun terus. Pendapatan yang diterima, dimakan pula oleh bunga kredit yang harus dibayar, sementara lingkungan alam kaum tani sering rusak.

Mereka yang meninggalkan desa dan berpindah ke perkotaan mendapatkan pekerjaan kasar dan mesti bekerja selama 10 sampai 12 bahkan 16 jam sehari dalam kondisi yang merugikan kesehatan, serta hidup di daerah-daerah kumuh. Begitu laju bertumbuhan ekonomi global berkurang, mereka lekas menganggur. Kaum pekerja di barat memang mempunyai standar hidup yang lebih baik, tetapi tidak bisa dikatakan “beruntung” dari sebuai sistem yang sedang memperpanjang jam-jam kerja mereka (hari kerja seorang pekerja laki-laki di Amerika Serikat sekarang ini 8 persen lebih panjang dibandingkan dengan 25 tahun yang lalu). Upah mereka menurun atau paling banter tersendat. Di saat yang sama, para pengritik menunjukkan bagaimana tidak bersedianya para politisi dan birokrat untuk mengatur kegiatan perusahaan-perusahaan, telah menghadirkan pengrusakan lingkungan alam secara global yang dapat mengancam kehidupan umat manusia.

WTO, IMF, Perusahaan Multinasional dan Konsekwensi Aksi Seattle

Para paus neoliberalisme mentuntut agar semua kegiatan ekonomi oleh negara dihentikan, semua halangan bagi pengaliran modal dan barang-barang dihapuskan, dan semua hambatan untuk penggunaan hak-hak kepemilikan swasta dihilangkan. World Trade Organisation (Organisasi Perdagangan Sedunia -WTO) menerapkan kebijakan-kebijakan yang senada. Negara-negara yang tidak membuka sektor penyediaan jasa seperti telekomunikasi kepada investasi serta persaingan dari luar, bisa kena sanksi. Produk-produk dari luar negeri yang mengancam kesehatan orang atau lingkungan alam tidak boleh dilarang. Obat-obatan atau software harus dihasilkan dengan harga mahal supaya perusahaan-perusahaan multinasional dapat beruntung karena “hak cipta” mereka (walau sebenarnya yang menciptakan innovasi itu adalah kaum pekerja, bukan kaum majikan).

International Monetary Fund (Dana Internasional Moneter – IMF) bertindak lebih agresif lagi melalui Structural Adjustment Programs (restrukturalisasi) yang mendorong negara-negara untuk menghapuskan subsidi pada bahan-bahan pokok dan untuk menswastanisasi ekonomi.

Selain memaksa, para neolib juga rajin berargumentasi. Bermacam-macam konferensi, pertemuan puncak dan lembaga penelitian ramai-ramai merancang rencana untuk membentuk kembali kebijakan negara-negara seluruh dunia. Contohnya European Round Table (Meja Bundar Eropa) para industriawan, yang mendorong IMF, WTO dll untuk mendukung “reformasi” di bidang pendidikan (seperti biaya lebih tinggi bagi mahasiswa); World Water Council (Dewan Air Sedunia) yang mendesak agar penyediaan air diswastanisasi; atau Transatlantic Business Dialogue (Dialog Bisnis Trans-Atlantik — semacam tim kerja para kapitalis terbesar), yang bekerjasama dengan wakil-wakil Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk merencanakan agenda-agenda WTO. Pertemuan semacam ini amat berpengaruh pada opini publik. Kolom-kolom surat kabar, berita-berita mass media, komentar-komentar di TV, laporan dari lembaga-lembaga riset dan departemen-departmen universitas semua ikut serta dalam proses propaganda tersebut. Selama bertahun-tahun proses itu behasil, sampai menimbulkan kesan, ideologi neoliberal tak dapat dikalahkan. Itu sebabnya kaum neolib begitu terperangah oleh demonstrasi di Seattle.

Kesuksesan di Seattle itu sebagian disebabkan oleh kontra-propaganda para aktivis anti-neoliberal. Melalui buku, seminar, kolom yang kadang-kadang berhasil diselipkan di dalam koran tertentu, sejumlah program televisi dan makalah akademis, mereka menandingi dan berusaha untuk mengekspos kesalahan-kesalahan argumentasi neolib. Kami kaum Marxis ikut partisipasi dalam upaya kontra-propaganda itu. Pada awal dasawarsa 1990-an kita masih agak terisolasi, berusaha berlayar melawan angin. Namun menjelang akhir dasawarsa tersebut, audiens kita bertumbuh secara hebat. Audiens yang bersedia menerima argumentasi kaum Marxis mungkin hanya bertumbuh berlipat 2, 3 atau 4; tapi audiens untuk para pemikir anti-neoliberal non-Marxis betumbuh lebih pesat.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Pengalaman tahun 1990-an sama sekali menyalahkan prediksi-prediksi neolib. “The New World Order” (Orde Baru Sedunia), yang digembar-gemborkan oleh Amerika Serikat seusai Perang Dingin sebagai dunia perdamaian, justeru melahirkan perang demi perang: di Teluk, Somalia, Cecnia, Bosnia, Serbia dll. “Keajaiban ekonomi” yang dijanjikan di bekas blok Soviet melalui diterapkannya pasar bebas terbukti cuma merupakan retorika kosong: padahal perekonomian Soviet ambruk secara hampir total. Kekuatan ekonomi kapitalis terbesar kedua, Jepang, terjerumus ke dalam sebuah krisis kemandegan ekonomi yang tiada hentinya, sedangkan di Eropa Barat angka pengangguran berfluktuasi sekitar 10 persen. Warga-warga Afrika mengalami kelaparan serta perang saudara secara bergantian — karena kelaparan menimbulkan konflik yang hebat, sedangkan peperangan memperparah masalah pangan. Hanya di Asia terjadi suatu kemakmuran ekonomi tertentu, namun kesuksesan ini ambruk juga menjadi krisis moneter, sampai para ahli ekonomi borjuis dan lembaga ekonomi nyaris kehilangan akal.

Selain itu efek rumah kaca, sebuah ancaman terhadap lingkungan alam dan umat manusia yang mula-mula hanya diakui oleh sebuah minoritas ilmuwan, akhirnya menjadi topik hangat di seluruh dunia — tetapi para penguasa kapitalis belum juga mau mengambil langkah serius untuk mengatasinya, karena langkah-langkah yang dibutuhkan akan mengurangi profit-profit mereka.

Yang mahapenting di sini adalah: hal-hal ini tidak lagi dilihat sebagai fenonema yang terisolasi tanpa kaitan satu sama lain. Masalah pangan, lingkungan alam, penindasan dan eksploitasi dimengerti sebagai sisi-sisi dari satu sistem global. Kampanye anti-imperialis, pro-lingkungan atau feminis, gerakan buruh, tani dan mahasiswa — yang tercabik-cabik selama bertahun-tahun sebelumnya — mulai bersatu. Kecenderungan ini telah memuncak dalam aksi unjuk rasa di Seattle.

Perdebatan (i): Apakah WTO dapat direformasi, atau mesti dihapuskan?

Barang tentu, sebuah gerakan yang mempersatukan banyak sektor, kampanye serta grup akan menghadapi perdebatan yang intensif, mengenai stategi, taktik dan orientasi teoritis. Masalah pertama yang menjadi hangat di antara para aktivis di Seattle adalah: apakah WTO bisa dibentuk kembali, atau harus dibubarkan saja?

Pandangan mayoritas dalam serikat-serikat buruh Amerika (AFL-CIO) mengajukan kepada WTO sebuah “klausul sosial” yang mesti dimuat dalam semua persetujuan perdagangan untuk menentukan standar-standar perburuhan minimal: melarang penggunaan tenaga kerja anak, melarang diskriminasi, dan menjamin hak bersikat bagi kaum buruh. Dengan demikian, WTO diharapkan akan mengenakan sanksi tidak hanya kepada badan-badan yang menhalangi pasar bebas, tetapi juga kepada pihak yang menindas kelas buruh. Steven Shrybman, seorang jurubicara organisasi-organisasi pelindung lingkungan alam, menganjurkan agar WTO ditransformasikan sampai badan itu akan “mengkhawatirkan masalah perubahan iklim planet kita dan bukan hanya profit perusahaan-perusahaan obat-obatan transnasional.” Bahkan sering diusulkan bahwa Bank Dunia dan IMF bisa direformasi melalui suatu “visi alternatif”, yang mentuntut agar lembaga serta perusahaan internasional menjadi “lebih terbuka dan bertanggung-jawab”.

Di sisi lain, Walden Bello menegaskan bahwa “upaya pembentukan kembali WTO adalah salah”. Dia belum mengajukan tuntutan mutlak agar WTO dibubarkan, tetapi memang menyerukan agar sebuah “kombinasi langkah aktif dan pasif diterapkan untuk mengurangi kekuatan IMF secara radikal, sehingga hanya menjadi satu lembaga antara banyak lembaga lain yang akan saling periksa.” Tuntutan agar WTO dibubarkan semakin dapat dukungan karena WTO itu tidak menggubris kekhawatiran-kekhawatiran para demonstran di Seattle.

Perdebatan yang mirip juga terjadi disekitar demonstrasi besar-besaran di kota Millau, Perancis selatan. Para pembicara yang ingin “membongkar” lembaga seperti WTO dicap “utopis” oleh pihak moderat, dan bahkan dituduh bersikap “sealiran” dengan para pendukung pasar bebas (yang menolak semua pengaturan ekonomi). Perdebatan mengenai reformasi atau penghapusan lembaga-lembaga ini berkaitan dengan satu perdebatan lain: mengenai alternatif mana yang harus diperjuangkan.

Perdebatan (ii): Klausul sosial, buruh anak, hak berserikat

Serikat-serikat buruh di AS mengajukan “klausul-klausul sosial” yang seharusnya dimuat dalam semua persetujuan perdagangan internasional, guna melarang perusahaan-perusahaan multinasional memperlakukan buruh di dunia ketiga seperti budak belian, sekaligus menghindari mereka memindahkan pabrik-pabrik keluar negeri hanya untuk mengurangi upah dan kondisi kaum buruh. Perubahan semacam ini diharapkan dapat membantu negara-negara yang mau lolos dari “the race to the bottom” (perlombaan ke bawah). Ada yang berniat menjalankan klausul-klausul ini melalui intervensi pemerintah; ada juga yang mengandalkan kampanye-kampanye untuk mengambil hati para konsumen dan aksi-aksi boikot untuk memaksa perusahaan seperti Nike untuk berubah sikap.

Namun pendekatan ini juga dikritisi oleh berbagai aktivis terkemuka karena dua hal. Yang pertama, pendekatan ini kurang memperhatikan kemampuan perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengelak peraturan-peraturan yang dilakukan oleh pemerintah serta menghindari tekanan dari para konsumen. Menurut David Bacon, “pemerintahan Clinton di AS, yang mula-mula ogah mendiskusikan perlindungan manapun bagi kaum buruh”, sekarang telah melihat kenyataan tertentu: kritik tentang kasus-kasus yang paling parah di pabrik-pabrik di luar negeri “bisa menjadi sebuah taktik untuk menangkis tekanan para pengritik di dalam negeri”. Namun Gedung Putih tidak berkepentingan untuk menghadapi sebab-sebab fundamental dari kemiskinan, atau merevisi peranan yang dimainkan oleh kebijakan AS sendiri yang justeru melanggengkan kemiskinan tersebut.

Minat yang tiba-tiba ditonjolkan oleh Clinton pada hal ini malah menjadi cara untuk memfasilitasi diterapkannya kebijakan itu. Contohnya peraturan-peraturan yang diusulkan oleh Departemen Perburuhan untuk melarang kerja paksa, atau melarang kerja lembur tanpa upah melebihi 60 jam, atau dipekerjakannya anak-anak di bawah umur 14 tahun di tempat-tempat kerja melarat … Perusahaan-perusahaan yang melanggar peraturan itu dilukiskan sebagai iblis; yang tidak melanggar peraturan dikira OK saja. Namun usulan-usulan untuk standar dan peraturan ini tidak menyentuh satu pertanyaan pokok: darimana asalnya kemiskinan yang memaksa kaum buruh memasuki gerbang pabrik? Kebijakan-kebijakan mana yang diterapkan oleh pemerintah AS yang justeru memperparah kemiskinan tersebut?”

Naomi Klein belum mengkritisi klausul-klausul sosial dengan begitu blak-blakan. Menurut dia, kalau kita memfokuskan perhatian masyarakat pada tingkah laku sejumlah perusahaan seperti Nike atau Starbucks, kita dapat merangsang orang “meletakkan seluruah sistem di bawah mikroskop”. Tetapi dia juga memperingatkan: “jika hanya satu merek saja yang menarik minat kita, yang lain jelas bisa luput dari perhatian … Chevron telah mendapatkan kontrak yang luput dari genggaman Shell, sedangkan Adidas berhasil muncul kembali sebagai pemain penting di pasaran, dengan meniru strategi Nike dalam hal perburuhan dan pemasaran tetapi menghindari kontroversi publik.” Dia menulis lebih lanjut:

“Bahkan kalau peraturan-peraturan tidak berasil menghapuskan penindasan, mereka toh berhasil (dengan cukup efektif) menggelapkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan raksasa dan para warga biasa sebenarnya tidak mempunyai tujuan yang sama dalam masalah bagaimana hal-hal perburuhan dan lingkungan alam harus diatur … Di balik omongan tentang etika dan kemitraan, kedua belah pihak masih terpiting dalam sebuah perjuangan kelas yang klasik.”

Perdebatan tidak hanya menyangkut keefektifan klausul-klausul sosial. Ada juga sebuah diskusi lebih luas, apakah klausul semacam ini sama sekali dapat dibenarkan. Sejumlah aktivis berpendapat bahwa dampak klausul itu hanya membuat negeri-negeri miskin tetap menjadi miskin. Menurut David Bacon:

“Klausul sosial yang diajukan oleh AFL-CIO mencerminkan kebutuhan terlambaga dari serikat-serikat di sebuah negeri industrial yang makmur. Serikat-serikat dan gerakan buruh di negeri-negeri lain mempunyai kebutuhan yang berbeda, terutama mereka memerlukan perkembangan ekonomi. Misalnya kaum tani di Filipina atau Meksiko hampir semua sepakat, lebih baik anak-anak mereka bersekolah daripada bekerja. Namun dengan melarang dipekerjakannya buruh anak, kita belum juga memberikan kesempatan bersekolah; kita hanya memotong penghasilan yang diperlukan oleh keluarga mereka untuk bertahan hidup.”

Bacon menunjuk ke imperialisme global sebagai biang keladi sebenarnya dari kemiskinan. Tetapi soalnya, beberapa butir argumentasinya agak dekat dengan argumen-argumen yang diajukan oleh Clare Short, Mennaker Inggeris dalam pemerintahan Tony Blair, yang telah merangkul doktrin-doktrin neoliberal. Menurut argumentasi neoliberal, setiap upaya mengatur kondisi kerja atau level upah hanya mengurangi jumlah lowongan kerja sehingga kaum buruh akan merugi. Argumentasi Bacon juga menonjolkan satu kelemahan tambahan; menurut dia, para aktivis di barat harus bekerjasama dengan pemerintah-pemerintah dunia ketiga serta serikat-serikat resmi yang disokong pemerintah tersebut, dan bukan dengan kaum buruh sendiri:

“Walau hak-hak buruh memang penting, ada sebuah perjuangan yang lebih besar mengenai siapa yang akan menguasai perekonomian negeri-negeri yang sedang berkembang … Serikat-serikat di Amerika harus menegosiasikan sebuah agenda bersama dengan serikat-serikat di negeri-negeri itu, dengan mengakui dan menghormati perbedaan orientasi dan pendapat. Yang mengatakan, misalnya, bahwa Konfederasi Serikat Buruh se-Cina tidak memiliki legitimasi sebagai organisasi buruh karena konfederasi itu tidak setuju dengan agenda perdagangan AFL-CIO, hanya bersikap sovinis saja.”

Di satu sisi kita melihat usulan untuk klausul yang tidak efektif, dan malah bisa digunakan oleh para politisi barat untuk menutup-nutupi dosa-dosa perusahaan besar dan agenda-agenda imperialis (contohnya: para politisi sayap kanan suka menuntut agar sanksi perdagangan dikenakan pada Cina). Namun di sisi lain kita melihat argumentasi yang terlalu mirip dengan argumen-argumen yang digunakan 150 tahun lalu oleh penganut pasar bebas Senior di Inggeris, yang tidak setuju kerja anak-anak dibatasi: argumentasi bahwa segala upaya mengatur dunia ekonomi hanya memperlambat pertumbuhan ekonomi sehingga kemiskinan menjadi lebih umum. Pendekatan pertama membiarkan pemerintah-pemerintah barat terus mendominasi WTO, sambil menggunakan klausul-klausul sosial sebagai alat demi tujuan-tujuan imperialis mereka. Pendekatan kedua terlalu sering cenderung menbenarkan eksploitasi kaum buruh di dunia ketiga sebagai satu-satunya jalan pembangunan ekonomi.

Kedua belah pihak mengemukakan kritik satu sama lain yang agak masuk akal. Sehingga kita harus menarik kesimpulan: kedua-duanya masih gagal menemukan akar dari masalah-masalah yang mereka tekuni.

Perdebatan (iii): Hutang

Perselisihan yang mirip juga muncul dalam kampanye-kampanye seperti Jubilee 2000 yang berfokus pada hutang yang ditanggung oleh negara-negara dunia ketiga. Kampanye ini sangat berjasa dalam menyoroti permerasan oleh lembaga-lembaga finansial imperialis. Namun kesuksesan mereka juga telah mengangkat sejumlah persoalan. Apakah kita harus selalu mengajukan tuntutan-tuntutan moderat saja, dengan harapan mempengaruhi badan-badan pemerintahan, atau mesti menuntut penghapusan semua hutang itu? Apakah kita harus tetap mengangkat isu-isu hutang saja, atau mesti meluaskan agenda sampai mencakup isu-isu lebih luas tentang sistem kapitalis? Susan George, seorang peneliti yang telah menekuni masalah hutang selama 30 tahun lebih, menjelaskan sebagai berikut:

Banyak orang yang baik hati menuntut penghapusan semua hutang sebagai satu-satunya solusi yang layak: saya sendiri khawatir kalau solusi ini bisa menjadi sebuah perangkap bagi kita … Jika mereka yang berhutang bisa bersatu untuk mengemplang sebagian dari hutang-hutangnya, atau semua hutang, syukurlah. Tapi rasanya itu tidak akan terjadi. Nah, bila aksi bersama itu tidak terjadi, bagaimana? Harus kita menyelenggarakan kampanye-kampanye mentuntut agar pemerintah-pemerintah di barat membatalkan semua hutang secara sepihak? … Tetapi penghapusan itu sebenanarnya justeru akan menguntungkan sistem yang sedang memperluas kelaparan dan kemiskinan di seluruh dunia ketiga. Kenapa? Yang pertama, pemerintah-pemerintah dunia ketiga yang paling memboroskan dana akan beruntung. Yang kedua, lewat pemutihan semacam itu, para negeri yang berhutung akan kena aib, sampai di masa mendatang mereka akan mengalami kesulitan mendapatkan dana baru dari sumber manapun.

Selain itu, tidak sedikit negeri yang sudah tidak mampu membayar hutang, sehingga sekarang mereka hanya bisa melunasi separuhnya. Jika 50% dari hutang mereka diputihkan, itu hanya berarti mereka harus membayar 100% dari 50% yang tersisa. Tidak ada gunanya untuk negeri yang berhutang, tetapi lembaga-lembaga finansial di barat bisa pura-pura bermurah-hati.

Susan George tidak mengungkit kekhawatiran ini untuk membenarkan sepak-terjang lembaga-lembaga finansial. Sebaliknya, dia ingin meluaskan cakrawala para aktivis gerakan dan menyoroti masalah hutang dari semua segi, termasuk pola pengaliran sumber daya secara keseluruhan, dan tingkah-laku para elit dunia ketiga (bukan hanya di barat). Dia membuktikan bahwa untuk mencari solusi yang signifikan, tidaklah cukup kita hanya memusatkan perhatian pada masalah hutang.

Pengalaman kampanye Jubilee 2000 membenarkan argumentasi Susan George. Kesuksesan kampanye tersebut dalam mengekspos dampak hutang justeru merangsang diskusi baru di kalangan aktivis. Beberapa tokoh terkemuka dalam kampanye itu beranggapan, mereka harus bersikap moderat guna mengambil hati pemerintah-pemerintah, dan bahkan mengharap dukungan dari orang-orang yang sudah terbukti reaksioner seperti ahli ekonomi Jeffrey Sachs — walau si Jeffrey Sachs itu masih menyetujui program neo-liberal yang dijalankan oleh presiden Ekuador, Jamil Mahaud, yang ditumbangkan jari jabatannya oleh pemberontakan masyarakat adat pada bulan Januari 2000. Mereka mengucapkan selamat kepada pertemuan puncak para pemimpin G8 di tahun 1998, karena para pemimpin itu berkenan mengakui adanya persoalan hutang. Namun setelah menyaksikan bahwa pemerintah-pemerintah tersebut belum juga mengambil langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan persoalan itu, para aktivis mulai merevisi taktik-taktik moderat mereka. Salah satu aktivis menyimpulkan: “Saya menyesal bahwa kami mengucapkan selamat kepada negara-negara G8 … Namun [yang penting] kampanye kita telah membuat masyarat lebih melek mengenai sebab-musabab kemiskinan.”

Perdebatan (iv) Kemiskinan, pembangungan dan pengrusakan lingkungan alam.

Di samping perselisihan tentang masalah perdagangan dan hutang ada perdebatan lain, tentang pembangunan macam apa yang mesti dijalankan di negeri-negeri miskin. Banyak aktivis di Seattle mempunyai pendapat yang cukup tegas dalam hal ini: menurut mereka, negeri-negeri dunia ketiga seharusnya diizinkan mengadakan industrialisi agar dapat mengejar negeri-negeri barat. William Greider menulis tentang perlunya “pembangunan industri di negeri-negeri di mana upah-upah masih rendah”, sedangkan Juliette Beck dan Kevin Danaher ingin “melindungi industri-industri domestik yang muda sampai mereka mampu bersaing di arena internasional”. Danaher bahkan melihat Korea Selatan sebagai ekonomi teladan karena “selama dasawarsa 1960-an sampai dengan 1980-an, meski terjadi bertahun-tahun represi, namun secara ekonomi negeri itu cukup sukses.” Sikap Waldon Bello tidak jauh berbeda: dia menganut sebuah strategi industrialisasi untuk dunia ketiga berdasarkan proteksi, yang sudah lama berasosiasi dengan UNCTAD (sebuah badan PBB) dan pemimpinnya Raul Prebisch, walau Waldon Bello memang mengakui bahwa “model integrasi ke dalam ekonomi global [versi UNCTAD] perlu dikaji kembali”.

Namun sejumlah aktivis lain telah mempertanyakan pendekatan industrialisasi ini. Mereka mencari suatu “jalan alternatif selain model yang mendominasi selama ini, yang berorientasi ke pertumbuhan cepat berdasarkan sektor ekspor.” Aliran alternatif ini sering didukung oleh para aktivis yang membela hak-hak masyarakat adat, atau yang berfokus pada masalah lingkungan alam seperti Vandana Shiva. Mereka menunjukkan ke akibat-akibat buruk yang disebabkan oleh proses industrialiasi di dunia ketiga (dan di barat dan bekas negeri “Komunis” pula): pemiskinan, pengrusakan lingkungan alam, pengganguan gaya hidup tradisional, dan lain sebagainya. Seperti dicatat oleh Susan George dalam kritiknya terhadap model-model ekonomi, “paradigma dominan” berarti “banyak manusia yang kehilangan tanah dan harus meninggalkan desa mereka, menyaksikan anak-anak mereka mengidap penyakit parah atau kelaparan; bekerja 14 jam per hari dengan gaji yang merana atau tidak bekerja sama sekali; meringkuk atau disiksa atau dibunuh, jika berani membuka mulut atau berusaha memperjuangkan nasib yang lebih baik.”

Namun mereka yang menolak paradigma lama jarang berhasil menyajikan paradigma alternatif yang memadai. Ahli genetika Mae-Wan Ho misalnya, menggabungkan sebuah kritik yang brilian terhadap tehnik-tehnik modifikasi genetik dengan usulan untuk kita kembali kepada “cara-cara pertanian tradisional”. Vandana Shiva melukiskan konsekwensi buruk pendekatan agrikultur yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan multinasional raksasa di India, tetapi kurang memperhatikan bahwa pertanian tradisional berarti penindasan yang mengerikan bagi jutaan petani kecil dan buruh tani, terutama kaum perempuan. Selain itu, cara-cara tradisional tidak mampu menghasilkan cukup bahan pangan untuk melayani seluruh populasi India yang bertumbuh dengan begitu cepat selama beberapa dasawarsa ini.

Membalas sebuah pertanyaan tentang hal tersebut seusai makalah Reith Lecture-nya, Vandana Shiva hanya mengeluh tentang “pertumbuhan populasi yang tidak bisa diteruskan begitu saja”, dan menyalahkan pembangunan:

Jika anda menyimak datanya, jumlah pendukuk India tetap stabil sampai tahun 1800. Penjahan Inggeris dan penggusuran orang dari tanah mereka membuat populasi kita muliai bertumbuh. Sedangkan laju pertumbuhan populasi di Inggeris sangat mempercepat setelah tanah yang dulu dimiliki secara berkelompok menjadi tanah swasta … pertumbuhan populasi adalah hasil dari pembangunan yang tak henti-hentinya.

Tapi sebenarnya, kemiskinan menjadi cukup umum di pedesaan India sebelum kedatangan para penjajah Inggeris. Ahli sejarah ekonomi Irfan Habib telah membuktikan keadaan miskin para penduduk rural di zaman Mogul. Dan di Inggeris ada sejumlah periode jauh sebelum munculnya kepemilikan swasta di pedesaan di mana rakyat menderita kelaparan, misalnya pada tahun-tahun pertama abad ke-14. Yang merasa kangen pada zaman-zaman dulu sebetulnya sedang merindukan cara-cara hidup yang agak merana, dan tatanan-tatanan sosial yang (walau bukan kapitalis) juga merupakan masyarakat berkelas, penuh dengan jerih payah, kelaparan, pendindasan dan penghisapan.

Lebih penting lagi, pertanian tradisional tidak sanggup untuk memberi makanan kepada seluruh populasi dunia yang diperkirakan jumlahnya akan melebihi 12 milyar orang dalam waktu 30 tahun. Metode-metode “Revolusi Hijau” patut dikecam secara tajam karena penggunaan intensif pestisida, merambatnya hubungan kapitalis di pedesaan, dan masalah lingkungan alam. Namun demikian, metode-metode itu memang berhasil meningkatkan hasil panen sampai India bisa menjamin kebutuhan fisik minimal bagi kebanyakan rakyat tanpa banyak impor. Bahkan Vandana Shiva sendiri harus mengakui “keberhasilan terbatas Revolusi Hijau”, walau hanya sepintas lalu. Betul, rakyat tidak banyak beruntung: namun hal ini disebabkan karena “Revolusi Hijau” dijalankan dalam konteks sosial yang timpang. Bukan metode-metode ilmiah yang berdosa, melainkan struktur-struktur kapitalis. Kita memang harus menggunakan metode-metode modern, tetapi dalam sebuah konteks sosial yang progresif.

Para pengamat yang mengecam model-model pembangungan kapitalis sering berpendapat, kita harus beralih ke produksi dan penggunaan lokal. Tetapi kalau kita hanya menggantungkan pada sumber-sumber daya setempat saja, akibat-akibatnya sering buruk juga. Model produksi lokal biasanya disertai paceklik lokal pula, setiap kali kita dilanda oleh cuaca yang tidak bersahabat atau hama-hama yang merusak panen. Tehnik-tehnik modern yang memungkinan pengiriman bahan pangan dari satu daerah atau negeri ke daerah atau negeri yang lain telah menyebabkan paceklik tidak lagi terjadi di banyak tempat. Jika masih terjadi di tempat-tempat lain, itu bukan karena orang di satu negeri seharusnya tidak membeli bahan makanan dari luar negeri. Paceklik itu terjadi karena distribusi global dijalankan demi kepentingan kaum pemilik modal bukan demi kepentingan manusia.

Ada sejumlah negara yang sudah lama bergantung pada ekspor tertentu, contohnnya Kuba yang bergantung pada ekspor gula. Seandainya kita semua kembali ke penggunaan hasil panen lokal dan menolak produk ekspor itu, rakyat Kuba akan mati. Kita hidup dalam sebuah sistem global yang bukan hasil proses “globalisasi” 2-3 dekade ini, melainkan sudah berkembang sejak abad ke-16. Sifat-sifat buruk dari sistem yang ada tidak bisa dihilangkan dengan mengisolir diri kita dari dunia luar, melainkan kita harus mengambil alih sumber-sumber daya yang ada di seluruh dunia, agar bisa digunakan untuk membebaskan umat manusia dari sistem kapitalis.

Para lawan model pembangunan modern terkadang mengajukan satu argumen lagi yang sangat jelek. Menurut mereka, model ini harus ditolak bukan karena memaksa orang melakukan pekerjaan keras yang tak ada henti-hentinya. Sebaliknya, mereka mengeluh bahwa model ini “kurang padat kerja”. Misalnya lembaga penelitian Environment Resarch Foundation mencatat sebagai salah satu kelemahan sistem produksi yang sedang diterapkan, bahwa “manusia kehilangan pekerjaan ketika mesin-mesin dipergunakan yang mengganti pekerja-pekerja dan kerbau-kerbau”, seolah-olah pekerjaan kasar merupakan nasib yang baik, dan manusia tak urung menderita bila jatah pekerjaan kasar tidak mencukupi bagi semua orang. Tentu saja para pekerja harus melawan PHK. Tetapi dalam sebuah tatanan sosial yang progresif, kita memang akan dapat membangun mesin yang membebaskan orang dari pekerjaan semacam itu, sambil menjamin penghasilan yang lebih tinggi untuk si pekerja. Sekarang ini sistem sosial memang berlum bersifat demikian, namun itu hanya membuktikan bahwa sistem sosial tersebut harus diganti. Tidak berarti, pekerjaan kasar adalah lebih baik daripada penggunaan mesin. Seperti gurau Brendan Behan: “Kalau pekerjaan keras begitu baik, kenapa sih kaum kaya tidak merebut semua pekerjaan itu buat diri mereka sendiri?”

Perdebatan (v) Globalisasi dan kapitalisme

Di belakang semua perdebatan tersebut ada satu masalah yang lebih mendasar. Kita sedang melawan apa: sebuah sistem ekonomi yang sudah lama mapan, atau hanya sejumlah perubahan dalam lembaga-lembaga dan ideologi-ideologi yang terjadi selama dasawarsa terakhir, yang dikenal dengan nama “globalisasi” dan “neo-lib”?

Kadang-kadang istilah-istilah ini hanya menjadi kata sandi, sehingga serangan-serangan terhadap globalisasi dan neoliberalisme merupakan satu cara menyerang sistem kapitalisme serta berbagai ideologi yang berkaitan. “Corporate greed” (kerakusan perusahaan besar) menjadi sinonim bagi profit, sedangkan “globalisasi” menjadi sinonim untuk cara-cara kapitalisme internasional menindas umat manusia. Wacana-wacana ini sangat berguna.

Namun tidak sedikit pengamat dan aktivis yang menggambarkan fenomena globalisasi dan neoliberalisme sebagai kekuatan independen tanpa merujuk ke sistem kapitalis. Misalnya Ignacio Ramonet menulis dalam Le Monde Diplomatique bahwa kita tidak ingin lagi “menerima globalisasi sebagai nasib yang tak terhindari … masyarakat semakin menuntut hak-hak mereka dalam bentuk yang baru, hak-hak kolektif di hadapan pengrusakan yang sudah disebabkan oleh globalisasi.” Sedangkan Vandana Shiva berargumen dalam makalah Reith Lecture-nya bahwa globalisasi dan “ekonomi global baru” telah berdampak mengerikan pada manusia biasa serta menyebabkan “malapetaka” di negeri seperti India, “terutama di bidang pangan dan pertanian”. Pierre Bourdieu melihat globalisasi dan ideologi neolib sebagai musuh utama. “Persoalan pokok”, tulisnya, “adalah neoliberalisme dan kemunduran aparatus negara. Di Perancis, filsafat neoliberal telah tertanam di seluruh kegiatan dan kebijakan negara.” Berbagai tokoh dari organisasi ATTAC di Perancis sampai mengatakan bahwa gerakan mereka bukanlah anti-kapitalis, dan hanya ingin mengendalikan cucuran modal jangka pendek yang menggangu ekonomi-ekonomi nasional.

Buku The Lugano Report karya Susan George memang merujuk ke kapitalisme dalam judul lengkapnya. Tetapi setelah aksi di Seattle dia menulis tentang massa yang memprotes “konsekwensi globalisasi yang parah” seolah-olah ini adalah hal yang terpisah dari kapitalisme dan jauh lebih serius. Beberapa bagian The Economic Horror karya Viviane Forrester melukiskan soal-soal seperti pengangguran bukan sebagai hasil sistem kapitalisme yang sudah ada sejak dulu kala, melainkan sebagai “efek sekunder” globalisasi. Sepertinya efek sekunder ini dikira baru muncul dalam dasawarsa 1990-an.

Kita nyaris diajak menarik kesimpulan bahwa “neoliberalisme” dan “globalisasi” merupakan noda-noda jelek di muka sebuah sistem yang bisa ditolerir jika noda-noda itu dilenyapkan. Seperti tulisan Your Money or Your Life karya Eric Toussaint, yang memperbedakan antara tahap kapitalis sekarang dan tahap sebelumnya: “Konsensus sosial ‘Fordis’ di barat, konsensus tentang pembangunan di dunia ketiga dan penguasaan birokratik di blok timur tidak menghapuskan pengunaan kekerasan oleh pihak yang berkuasa — jauh dari itu — tetapi semua metode ini telah membuka jalan untuk kemajuan sosial tertentu.”

Redaksi Le Monde Diplomatique menonjolkan mentalitas yang mirip dengan mengusulkan agar kita kembali ke model ekonomi-ekonomi nasional kapitalis berdasarkan proteksi. Sama halnya dengan Colin Hines yang beorientasi ke “produksi lokal” oleh pengusaha dan perusahaan setempat di setiap negara. Seakan-akan sebuah sistem kapitalis yang sebelumnya dikira kurang lebih memadai, baru saja sedang dirongrong oleh kaum neolib yang melayani kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional. Tetapi upaya-upaya pihak reaksioner itu tidak merupakan penjelasan yang memuaskan tentang fenomena-fenomena mengerikan yang sedang diekspos oleh gerakan anti-kapitalis. Fenomena-fenomena ini sudah menyolok mata sejak awal sistem kapitalis. Bila manusia direduksi menjadi barang jualan, buruh-buruh anak dieksploitir, jam kerja menjadi kelewat panjang, malapeteka di desa tatkala kaum tani tergusur disusul oleh tragedi di pabrik ketika kaum buruh di PHK, lingkungan alam dibahayakan — soal-soal ini bukan sesuatu yang baru muncul 10 atau 20 tahun yang lalu. Hal-hal itu digambarkan 100-150 bahkan 200 tahun yang lalu, dalam novel Hard Times karya Charles Dickens, Germinal karya Emile Zola atau The Jungle karya Upton Sinclair; juga dalam Condition of the Working Class in England karya Frederick Engels atau beberapa bab Das Kapital. Fenomena-fenomena ini menyifati sistem kapitalis sejak awal. Sehingga tulisan anti-globalisasi yang paling bagus dewasa ini sebenarnya bersifat cukup mirip dengan tulisan zaman dulu tersebut.

Sejumlah ilusi

Sayangnya kaum pengritik terkemuka yang mengecam globalisasi kebanyakan masih menerima sebagian dari argumentasi neoliberal tentang jalannya proses globalisasi itu.

Jauh-jauh hari Karl Marx menjelaskan bagaimana sistem kapitalis menyembunyikan inti proses-proses sosial. Para pedagang yang berjual-beli di pasaran hanya melihat gerak-gerik komoditi dan uang di permukaan pasar itu dan tidak memaklumi kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Para pemodal yang mendapat penghasilan dari saham atau obligasi, atau manipulasi pasar modal, cenderung percaya bahwa uang dan surat-surat berharga mampu bertumbuh secara ajaib tanpa adanya hubungan dengan pekerjaan manusia di pabrik, sawah, tambang atau kantor. Para kapitalis yang hidup dari pekerjaan kaum buruh, percaya bahwa merekalah yang menyediakan pekerjaan buat kaum buruh yang seyogyanya mengucapkan terima kasih. Pengangguran dikira disebabkan oleh tidak adanya cukup tugas yang perlu diselesaikan, walau sebenarnya tunakarya itu disebabkan oleh sistem kompetisi buta antara kaum majikan.

Gambaran dunia yang terbalik ini disebut oleh Marx dengan istilah “fetishism of comodities”. Artinya Marx membandingkan masyarakat kapitalis dengan sebuah kiasan dari dunia agama primitif, di mana manusia membuat berhala-berhala, kemudian menyembah berhala-berhala itu. Berhala yang merupakan barang penciptaan manusia sepertinya menjadi indepen lantas mendominasi manusia tersebut. Yang dilihat oleh manusia bukan lagi kenyataan melainkan sebuah dunia terbalik. Seperti juga dunia ekonomi kapitalis, di mana para ahli ekonomi borjuis melihat fenomena-fenomena dari sudut pandangan kaum pemilik modal, terutama di sektor finansial di mana pertukaran kertas dikira dapat menciptakan kekayaan. Kegiatan-kegiatan praktis di bidang produksi kurang diperhatikan.

Mentalitas ini betul-betul kasat mata ketika para pengamat borjuis mengambarkan perubahan-perubahan struktur ekonomi dunia selama 25 tahun ini. Transaksi internasional berperan semakin besar, tetapi terutama transaksi finansial. Organisasi materiil dari proses produksi belum begitu ditransformasikan.

Para pemodal mengirim trilyaran dolar mengelingi jagat setiap hari, namun perusahaan-perusahaan multinasional tetap memusatkan sebagian besar dari produksi mereka di satu atau paling banter dua negeri. Para pimpinan perusahaan itu hampir selalu menonjolkan sebuah “bias nasional”. Mereka sering digambarkan bersikap acuh-tak-acuh terhadap kelakuan negara, tetapi gambaran ini salah. Tiap perusahaan multinasional mengandalkan salah satu negara nasional untuk membela kepentingannya di kancah internasional, dalam negosiasi ekonomi dan juga dalam mengatur suku bunga dan nilai tukar mata uang. Dalam situasi gawat, mereka tak jarang mendorong negara untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan yang bangkrut jika merasa terancam.

Perusahaan multinasional sama selaki tidak “tanpa bobot”. Mereka tidak bisa memindahkan pabrik secara besar-besaran begitu saja dari satu negara ke negara yang lain. Mobil, truk, baja, lemari es, mesin cuci, obat-obatan bahkan komputer harus dimanufaktur dalam pabrik yang mahal, yang tidak bisa ditinggalkan dengan leluasa. Di industri modern, pemindahan pabrik biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun. Misalnya Ford berniat memindahkan produksi mobil dari Inggeris ke Jerman, dan proses itu diperkirakan akan makan waktu dua tahun. Pemindahan-pemindahan seperti ini biasanya bukan ke dunia ketiga (seperti sering dibayangkan) melainkan dari satu negeri maju ke negeri maju lain. Pada tahun-tahun awal dasawarsa 1990-an, tiga perempat dari investasi terkonsentrasi di negeri-negeri maju.

Besar-kecilnya negara-negara Amerika Utara dan Amerika Selatan dapat digariskan sebagai berikut. Amerika Serikat memiliki 76% dari ekonomi belahan bumi barat itu. Brazil menjadi negara terbesar di Amerika Latin dengan ekonomi sebesar 8 % (lebih kecil dari California), Kanada meraih 6 % (sama dengan New York), Meksiko 4%, Argentina 3 %, dsb. Kemiskinan menjadi umum di banyak negeri Asia, Afrika dan Amerika Latin, bukan hanya karena para kapitalis membayar upah yang rendah, tetapi juga karena mereka tidak melakukan banyak investasi di negeri-negeri tersebut.

Perusahaan-perusahaan multinasional juga sangat bergantung pada tenaga kerja. Diskusi-diskusi tentang globalisasi memuat segala macam omong kosong bahwa kelas buruh tradisional (kerah biru) sedang lenyap. Tetapi jumlah buruh industrial di 24 ekonomi termaju masih sangat besar. Jumlah mereka naik dari 51,7 juta pada tahun 1900 menjadi 120 juta pada tahun 1971. Kemudian angka itu memang menurun tetapi hanya sampai 112,8 juta (pada tahun 1998). Buruh ini tidak bisa ditinggalkan begitu saja karena mereka memiliki keterampilan yang tinggi.

Selain itu banyak sekali pekerja di sektor jasa mengalami kondisi kerja yang sangat mirip dengan kondisi di pabrik. Hal ini sudah lama demikian dalam kasus pekerja pelabuhan atau sopir truk – dan sopir truk sebenarnya akan berperan lebih penting dengan berkembangnya e-commerce (perdagangan internet), karena barang-barang yang dibeli via internet tidak bisa dikonsumsi di “alam maya” melainkan harus diantarkan secara riil. Tumbuhnya restoran-restoran semacam McDonald’s dan KFC juga menciptakan banyak tempat kerja yang mirip pabrik.

Para teoretisi globalisasi sering beranggapan, bahwa kelas pekerja dewasa ini semakin tak berdaya di hadapan perusahaan-perusahaan global. Namun itu salah pula. Pada tahun 1998 kaum pekerja Ford menjalankan aksi mogok yang melumpuhkan pabrik-pabrik Ford di seluruh Eropa. Tapi sayangnya para pengritik juga termakan oleh kesalahan ini. Viviane Forrester menuliskan:

“Dunia lama — di mana kerja dan ekonomi berfusi dan rakyat banyak diperlukan oleh mereka yang mengambil keputusan penting — seperti telah dihapuskan … Dunia baru yang didominasi oleh kibernetika, proses produksi otomatis dan tehnologi baru yang revolusioner tidak berkaitan lagi dengan ‘dunia kerja’ yang tidak lagi dibutuhkannya.”

Rumusan-rumusan Naomi Klein sering senada; menurut dia banyak perusahaan multinasional mendasarkan diri pada “sistem pabrik tanpa akar” yang “mengingkari peranan tradisional mereka sebagai majikan yang memperkerjakan massa rakyat”. Dan perusahaan General Motors sedang “memindahkan alat-alat produksi ke maquiladoras (daerah-daerag industrial sepanjang perbatasan antara Meksiko dan Amerika Serikat) dan ke tempat yang mirip di mana-mana di dunia”. Kita mendapatkan kesan bahwa lowongan kerja sedang mengalir secara deras keluar Amerika Serikat. Tetapi dalam tempat lain dalam buku yang sama Naomi Klein memberikan angka untuk tenaga kerja maquiladora yang sebesar 900.000 — kurang dari 5% dari tenaga kerja yang ada di A.S. Jumlah pekerja perusahaan General Motors di A.S. tetap sebesar 200.000, jauh lebih besar dibandingkan jumlah pekerja General Motors di Meksiko.

David Bacon, yang sering menggunakan terminologi Marxis, juga melakukan kesalahan yang sama. Dia melihat pengaliran modal ke negeri-negeri dunia ketiga sebagai sebab utama dari pengangguran di AS: “Perbedaan standar hidup antara negeri kaya dengan negeri miskin … meyebabkan warga-warga AS kehilangan pekerjaaan saat perusahaan-perushaan berpindah.”

Sebetulnya, sebab utama orang kehilangan pekerjaan di barat adalah proses restrukturisasi dalam perusahaan-perusahaan, yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas di tempat-tempat kerja. Ketika pabrik-pabrik dipindahkan, mereka lebih sering berpindah ke tempat lain di dalam negeri-negeri maju itu sendiri. Kekalahan-kekalahan paling serius yang dialami oleh kelas pekerja Inggeris — kalahnya kaum buruh tambang pada tahun 1985 dan kaum pekerja percetakan pada tahun 1987, bukanlah akibat berpindahnya alat-alat produksi keluar negeri.

Ini bukan kelemahan kecil dalam karya-karya Forrester, Klein dan Bacon. Salah satu fungsi terpenting teori-teori neolib adalah untuk meyakinkan kita bahwa kita sama sekali kehilangan kontrol atas sistem kapitalis dan sistem itu tidak dapat dilawan lagi. Para politisi melakukan argumentasi ini untuk membenarkan kebijakan anti-rakyat seperti dicabutnya subsidi BBM di Indonesia. Para birokrat konservatif dalam serikat-serikat buruh menjadikannya alasan untuk menghidari perjuangan buruh yang mereka anggap sia-sia. Jangan sampai kita menerima logika palsu ini.

Perang di zaman globalisasi

Masalah perang tidak dibicarakan oleh para teoretisi globalisasi, tapi hal ini seharusnya menjadi perhatian penting bagi para pengritik sayap kiri.

Para teoritisi globalisasi cenderung mengajukan pendapat bahwa modal internasional tidak lagi menghiraukan perbatasan antar-negara, sehingga perdagangan bebas dikira akan menghentikan perang. Menurut salah satu slogan mereka, “negeri-negeri di mana ada restoran McDonald’s tidak pernah saling tempur.” Kenyataannya jauh berbeda. Perang meletus secara reguler selama ini: Perang Teluk, pertempuran di banyak tempat di Afrika, konflik bersenjata di beberapa negeri bekas Yugoslavia, kemudian serangan NATO di Serbia (yang memang mempunyai restoran-restoran McDonalds), agresi Rusia di Cecnya, dan lain sebagainya.

Peperangan semacam ini merupakan sebagian esensial dalam sistem kapitalis global, seperti halnya kegiatan IMF atau perusahaan multinasional, karena nasib setiap pemilik modal masih juga terkait dengan negara-negara tertentu. Perusahaan seperti Boeing, Monsanto, Microsoft dan Nike tidak mungkin menjadi kuat tanpa sokongan aparatus negara Amerika Serikat, termasuk militer. Namun kekuatan dan gengsi setiap negera bergantung pada kemampuannya untuk mengalahkan negara lain di medan perang, atau sekurang-kurangnya untuk ikut terlibat dalam sebuah aliansi militer yang mampu.

Pada awal tahun 1990-an kita menyaksikan koalisi militer yang dipimpin oleh Amerika menjalankan invasi di Teluk untuk mempertahankan kekuasaanya atas sumber minyak tanah. Pada akhir dasawarsa yang sama, kita menyaksikan sebuah koalisi yang mirip menyerang Serbia guna mempertahankan “kredibilitas” NATO, yaitu untuk menjamin posisi strategis mereka di Eropa tenggara, sekaligus mempertahankan akses ke daerah-daerah di Timur Tengah dan Laut Kaspian yang sekali lagi kaya akan minyak tanah. Thomas Friedman, seorang wartawan yang dekat dengan State Department A.S., menjelaskan hubungan antara perusahaan-perusahaan besar dan kekuasaan militer:

Tangan tersembunyi (the invisible hand) di pasar tidak pernah berfungsi tanpa kepalan tersembunyi yang disediakan oleh militer. McDonalds tidak bisa sukses tanpa McDonnell Douglas. Kepalan tersembunyi ini, yang menjaga keamanan bagi kesuksesan tekhnologi dari Silicon Valley, namanya angkatan darat, udara dan laut serta marinir.

Biasanya pemerintah-pemerintah dan para pemikir neoliberal berusaha menutup-nutupi hubungan itu, dan ketika melakukan perang mereka pura-pura membela hak asazi manusia. Jangan percaya kebohongan ini. IMF, WTO, Bank Dunia, Pentagon dan NATO hanya merupakan bermacam-macam sisi dari sistem yang sama. Tidak logis kita melawan satu aspek sambil mendukung aspek lain.

Mengembangkan sebuah teori alternatif

Neo-liberalisme dan proses globalisasi amat tidak manusiawi, namun tidaklah cukup jika kita hanya mengekspos segi yang tidak manusiawi itu. Teori neolib mengaburkan kenyataan eksploitasi dan penindasan secara sistematis. Ideologi itu harus kita bongkar secara sistematis pula. Kita juga mesti menjelaskan kenapa ideologi neolib begitu kuat. Kuatnya neoliberalisme tidak dapat dipahami sebagai hasil konspirasi kapitalis saja. Tentu saja ada banyak konspirasi kapitalis, tetapi itu bukan hal yang baru. Persekongkolan semacam itu selalu terjadi, tetapi ini tidak menjelaskan kenapa ide-ide neolib menjadi kuat persisnya di masa kini. Untuk sebuah penjelasan yang memadai, kita harus berangkat dari analisis Marx tentang sistem kapitalis.

Banyak teoretisi anti-kapitalis dewasa ini yang anti-Marx, karena dipengaruhi oleh pengalaman buruk di Uni Soviet, dan karena jemu “Marxisme akademis” abstrak yang berkembang di universitas-universitas pada tahun 1970-an. Tetapi pemikiran Marx meletakkan sebuah landasan yang tak kuat untuk mengerti sifat-sifat kapitalisme global.

Marx muda memulai sebagai seorang demokrat liberal yang melawan penindasan semi-feodal yang masih bercokol di benua Eropa. Namun dia lekas insaf bahwa mode produksi dan fenomena sosial kapitalis yang sedang muncul waktu itu, dan yang sudah menguasai negeri Inggeris, tidak kalah menindas dan mengeksploitasi manusia. Marx mulai menekuni cara-cara sistem baru ini beroperasi, dan bagaimana kapitalisme tersebut bisa ditentang — seperti kaum pemikir terkemuka gerakan “anti-kapitalis” menekuni persoalan globalisasi baru-baru ini.

Fenomena “alienasi” (keterasingan) menjadi titik tolak bagi analisis Marx. Ini bukan hanya sebuah konsep filosofis atau sosiologis saja, melainkan berkaitan erat dengan dunia kerja dan sistem ekonomi pula. Marx mempelajari karya-karya para penganut terkemuka sistem kapitalis, seperti Adam Smith dan David Ricardo. Marx menarik kesimpulan bahwa, meskipun kapitalisme meningkatkan produktivitas kerja dan sumber-sumber daya ekonomi secara hebat, namun mayoritas besar umat manusia tidak beruntung:

Makin banyak yang dihasilkan oleh si pekerja, makin kurang konsumsinya. Makin banyak nilai yang diciptakannya, makin ia sendiri menjadi tak bernilai, tak berharga … [Sistem kapitalis] mengganti tenaga kerja dengan mesin, tetapi di saat yang sama melontarkan sebagian dari kaum pekerja kembali pada sebuah tipe pekerjaan yang biadab, sedangkan kaum pekerja lain menjadi mesin … sistem itu menghasilkan kepandaian — tetapi bagi si pekerja, hanya kebodohan … Benar, pekerjaan semacam itu menghasilkan barang-barang gemilang bagi kaum kaya — namun untuk kaum pekerja hanya kesengsaraan. Dia menghasilkan rumah-rumah mewah — tapi untuk kaum pekerja, pondok-pondok kumuh belaka. Dia menghasilkan keindahan — tapi untuk si pekerja cuma kejelekan … Si pekerja hanya merasa utuh di luar pekerjaannya, sedang selama dia bekerja dia merasa luar diri sendiri. Dia merasa betah selama tidak bekerja; selama bekerja dia sama sekali tidak kerasan. (The worker only feels himself outside his work, and in his work feels outside himself. He feels at home when he is not working, when he is working he does not feel at home.)

Seorang buruh bekerja untuk hidup. Dia malah tidak menghitung pekerjaannya sebagai kehidupan, melainkan sebagai pengorbanan kehidupannya … Yang dihasilkannya bagi diri sendiri bukanlah kain sutra yang ditenunnya, emas yang ditambangnya ataupun istana-istana yang dibangunnya. Yang dihasilkannya bagi diri sendiri hanyalah upah, sehingga kain sutra, emas dan istana itu menjelma mengambil bentuk sekian banyak kebutuhan hidup, mengkali sehelai jaket kapas, sedikit uang recehan, dan kamar sumpek yang dihuninya. Dan si pekerja yang menenun, memintal, mengebor, membangun, menyodok atau berkuli selama 12 jam sehari — mengirakah dia ke-12 jam penunan, pemintalan, pengeboran, pembangungan, penyodokan dan pengkulian itu sebagai manifestasi kehidupannya? Malah sebaliknya, kehidupannya baru berawal begitu kegiatan-kegiatan itu selesai — di meja makan, di kedai minuman, di tempat tidur.

Betapa relevannya kata-kata Marx ini! Untuk wanita-wanita muda di Indonesia atau Amerika Latin yang dilukiskan dalam tulisan-tulisan Naomi Klein, menjahit busana elegan yang tak pernah mereka sanggup beli dengan upah mereka sebesar sedolar sehari; atau kaum tani India yang tergusur oleh perusahaan kapitalis guna menghasilkan bahan makanan yang tidak mungkin akan dinikmati oleh para petani tersebut; ataupun kaum buruh pabrik baja di Amerika yang di PHK karena industri mereka menghasilkan “terlalu banyak” baja. Namun Marx tidak hanya menggambarkan keadaan yang sengsara ini; keadaan tersebut memang telah dilukiskan oleh orang lain sebelum Marx. Dia berusaha pula, melalui 25 tahun penelitian yang tekun, untuk memahami bagaimana sistem kapitalis bisa muncul — dan bagaimana sistem itu menimbulkan lawan-lawannya sendiri.

Dia menemukan asal-usulnya dalam hal monopoli oleh sebuah kelas minoritas atas “alat-alat produksi”, yakni hasil-hasil bekas pekerjaan, seperti mesin-mesin yang diperlukan oleh manusia untuk mencapai penghasilan yang memadai. Sehingga mayoritas rakyat hanya tinggal menjual tenaganya kepada kaum minoritas itu, jika tidak mau mati kelaparan. Namun monopoli atas alat-alat produksi yang dinikmati oleh minoritas tersebut memungkinkan mereka membayar sebuah upah untuk tenaga kerja itu yang kurang dari nilai yang dihasilkan oleh para pekerja. Sehingga kaum pemilik alat-alat produksi mendapatkan sebuah “nilai lebih” dari jerih payah kaum pekerja. Nilai lebih tersebut menjadi sumber profit, dividen dan bunga.

Di saat yang sama, perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh minoritas tersebut sedang saling bersaing. Akibatnya, setiap perusahaan berusaha bertumbuh lebih cepat dari para pesaingnya. Itu hanya dapat dilakukan dengan secara senantiasa memaksimalkan nilai lebihnya dengan semakin menghisap kaum pekerja. Sebagai konsekwensinya timbullah sebuah fenomena yang sama sekali kontradiktif bahkan absurd: terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peningkatan kemakmuran rakyat. Seperti tulis Marx:

Akumulasi, akumulasi! Itulah nabi-nabinya! Tabunglah, tabunglah! Yaitu rubahlah semakin banyak nilai lebih atau penghasilan surplus menjadi modal. Akumulasi guna akumulasi saja, produksi demi produksi belaka — dengan rumusan ini, ilmu ekonomi-politik klasik mengucapkan amanat historis borjuasi.

Demikian bangkitlah sebuah sistem lengkap yang mengungkungi massa rakyat:

Kekuasaan si kapitalis atas pekerja juga merupakan kekusaan barang-barang atas manusia, pekerjaan mati atas pekerjaan hidup, produk-produk atas para produsen, karena sebenarnya barang-barang jualan yang menjadi alat dominasi atas kaum pekerja … adalah alat-alat produksi … Ini merupakan proses pengasingan pekerjaan sosial para pekerja.

Para pemilik modal sebagai individu menjadi pelaku yang menyelenggarakan proses ini. Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain kalau ingin tetap menjadi pemilik modal. Seandainya mereka tidak berhasil menghisap profit yang setara dengan profit para kapitalis lain, mereka akan kalah bersaing sehingga harus gulung tikar atau menjual perusahaan mereka kepada para kapitalis lain itu. Sehingga dalam artian tertentu para pemilik modal juga dikungkungi oleh logika sistem kapitalis — tapi yang jelas, mereka menikmati sebuah gaya hidup yang jauh lebih bagus daripada rakyat jelata. Menurut Marx: “si pekerja dari mula menjadi korban; dia cenderung memberontak dan melihat proses itu sebagai perbudakan” sedangkan si kapitalis “mengakar dalam proses alienasi, dan di situ dia menikmati sebuah kepuasan hati yang penuh”.

Para kapitalis mempertahankan sebuah dunia “kerja terasing”, di mana hasil-hasil kegiatan manusia hidup sendiri dan mendominasi manusia itu. Di dunia ini kita senantiasa dipaksa untuk bekerja sambil secara berkala kita dipaksa untuk menganggur pula; kita manyaksikan kelaparan disamping penghasilan “terlalu banyak” produk, dan penggusuran kaum tani yang kemudian terpaksa harus datang ke perkotaan tetapi mungkin tidak mendapatkan pekerjaan di situ. Semakin kuatnya pihak kapitalis, semakin banyak orang yang harus menggantungkan pada pekerjaan upahan. Setiap kali mereka menjual tenaga mereka kepada pihak kapitalis, para majikan menghisap lebih banyak nilai lebih sehingga menjadi lebih kuat lagi. Bahkan kalau sejumlah pekerja berada dalam kedudukan yang relatif beruntung sehingga bisa memaksa para majikan meningkatkan upah, dinamika kapitalis tak kunjung berhenti: “Selama modal terakumulasi secara pesat, upah bisa saja meningkat; tapi profit kapitalis akan meningkat dengan jauh lebih cepat. Posisi materiil si pekerja memang membaik, tetapi posisi sosialnya tetap memburuk.” Kaum pekerja masih terus “menempa rantai-rantai emas” yang mengungkungi mereka sendiri. Dan dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels melukiskan merambatnya sistem kapitalis ini ke seluruh penjuru dunia:

Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya mengejar borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan-hubungan di mana-mana.

Melalui penghisapannya atas pasar dunia borjuasi telah memberikan sifat kosmopolitan kepada produksi dan konsumsi di tiap-tiap negeri. Kaum reaksioner merasa sedih sekali karena borjuasi telah menarik bumi nasional dari bawah kaki industri di setiap negeri.. Semua industri nasional yang sudah tua telah dihancurkan atau sedang dihancurkan setiap hari. Mereka digantikan oleh industri-industri baru yang pelaksanaannya menjadi jadi masalah hidup dan mati bagi semua nasion yang beradab, oleh industri yang tidak lagi mengerjakan bahan mentah dari negeri sendiri, tetapi bahan mentah yang didatangkan dari wilayah-wilayah dunia yang paling jauh letaknya, industri yang barang-barang hasilnya tidak saja dipakai di dalam negeri tetapi di setiap pelosok dunia. Sebagai pengganti kebutuhan-kebutuhan masa lampau yang dipenuhi oleh produksi negeri sendiri, kita mendapatkan kebutuhan-kebutuhan baru, yang untuk memuaskannya diperlukan hasil-hasil dari negeri-negeri serta daerah-daerah iklim yang sangat jauh letaknya. Sebagai pengganti keadaan terasing serta mencukupi-kebutuhan-sendiri secara lokal maupun nasional yang lama, kita dapati hubungan ke segala jurusan, keadaan saling-tergantung yang universal di antara nasion-nasion …

Borjuasi, dengan perbaikan cepat dari segala alat produksi, dengan makin sangat dipermudahnya kesempatan menggunakan alat-alat perhubungan, menarik segala nasion, sampai yang paling biadab pun, ke dalam peradaban. Harga-harga murah dari barang dagangannya merupakan artileri berat yang dengannya ia memporak-porandakan segala tembok-tembok Cina, yang dengannya ia menaklukkan kebencian berkepala batu dari kaum biadab terhadap orang-orang asing. Ia memaksa semua nasion, dengan ancaman akan musnah, cara produksi borjuis; ia memaksa mereka mengemukakan apa yang olehnya disebut peradaban itu ke tengah-tengah lingkungan mereka, yaitu, supaya mereka sendiri menjadi borjuis. Pendek kata, ia menciptakan sebuah dunia menurut bayangannya sendiri.

Disamping proses globalisasi ini terjadi sebuah perkembangan tambahan. Para kapitalis yang lebih besar mengalahkan yang lebih kecil di pasaran atau mengambil alih bisnis mereka, dan ini menyebabkan proses “konsentrasi dan sentralisasi kapital”. Yaitu modal terpusat di dalam semakin sedikit tangan. Proses ini agak berkepanjangan, dan kapitalis baru juga muncul secara terus-menerus, terutama di sektor-sektor baru yang diabaikan oleh perusahaan yang mapan. Namun dalam jangka panjang kecenderungan konsentrasi serta sentralisasi tidak bisa disangkal, sehingga sistem kapitalis semakin dikuasai oleh sejumlah perusahaan raksasa.

Persaingan yang brutal ini membuat kaum pekerja selalu merasa gelisah. Tak pernah ada jaminan bahwa majikan mereka tidak bisa dihancurkan oleh saingannya yang mungkin mempekerjakan orang lain dengan upah yang lebih rendah, atau direstrukturalisasi di bawah tekanan kompetisi yang tak kenal ampun tersebut dengan mem-PHK sebagian dari kaum pekerja.

Dengan semakin kuatnya pihak kapitalis, kekuaatan itu semakin mengganyang semua bidang produksi yang belum kapitalis. Dalam Das Kapital, Marx menjelaskan bagaimana dalam tahap-tahap pertama, kapitalisme mentransformasikan hubungan sosial di pedesaan. Kelas petani lama binasa dan diganti oleh — di satu sisi — sejumlah kecil petani kapitalis yang memiliki tanah, dan di sisi lain sejumlah besar manusia yang tidak bisa bertahan hidup kecuali dengan menjual tenaga mereka kepada orang lain. Marx mengutip saksi-saksi kontemporer yang melaporkan tentang perkembangan di pedesaan Inggeris, Scotlandia serta Irlandia. Gambaran yang dibuat Marx tentang desa-desa yang ditinggalkan semua penghuninya, keruntuhan rumah-rumah dan pemiskinan kebanyakan orang di desa, sangat menyerupai perkembangan kontemporer di banyak pelosok dunia ketiga. Para petani di dataran tinggi Scotlandia, umpamanya, telah diintegrasikan ke dalam perekonomian kapitalis lewat sebuah proses berlipat dua: yang pertama mereka tergusur supaya tanah mereka dapat diambil alih lantas digunakan untuk memelihara domba; kemudian domba itu diganti dengan rusa dan tanah itu ditinggalkan kembali menjadi hutan.

Namun Marx juga menunjuk ke satu fenomena tambahan. Dunia kerja teralienasi tadi tetap dinamis. Proses akumulasi “bekas kerja” (alias modal) dan perluasan produksi industrial, mengakibatkan terciptanya lebih banyak kekayaan dibandingkan semua zaman terdahulu dalam sejarah umat manusia:

Borjuasi, selama kekuasaannya yang belum genap seratus tahun itu, telah menciptakan tenaga-tenaga produktif yang lebih teguh dan lebih besar daripada yang telah diciptakan oleh generasi-generasi yang terdahulu dijadikan satu. Ditundukkannya kekuatan-kekuatan alam kepada manusia, mesin-mesin, pelajaran kapal api, pengenaan ilmu kimia pada industri dan pertanian, jalan kereta api, pembukaan benua-benua utuh untuk tanah garapan, telegrafi listrik, penyaluran sungai sejumlah sangat besar penduduk yang dengan kekuatan sihir dikeluarkan dari dalam tanah – abad terdahulu manakah yang dapat menduga adanya tenaga-tenaga produktif yang sedemikian itu tertidur dalam pangkuan kerja masyarakat?

Sayangnya, penciptaan semua kekayaan ini hanya berarti pendindasan baru bagi mereka yang bekerja. Menurut Marx, “kemajuan manusia” menyerupai “berhala kuno yang memuakkan, yang tak sudi melahap minuman dewata selain dari tengkorak-tengkorak orang terbunuh.”

Namun secara potensi umat manusia sanggup untuk menyita semua kekayaan ini, serta mengorganisasi proses produksi kembali guna melayani kepentigan rakyat dalam skala besar. Akumulasi kapitalis membawa keterasingan yang dialami oleh manusia sampai tingkat tertinggi, tetapi sekaligus mempersiapkan medan bagi penghapusan kondisi teralienasi itu lewat perjuangan revolusioner. Karena proses akumulasi tersebut juga menciptakan sumber daya produktif yang mampu untuk membebaskan kita dari jerih-payah yang menjadi nasib manusia sejak dulu kala.

Marxisme dalam abad XX

Marx wafat pada tahun 1883. Maka dia kurang sempat menyaksikan serta menggambarkan perkembangan tendensi-tendensi sosial yang dianalisirnya berdasarkan tahap-tahap pertama kapitalisme di Inggeris. Ini menjadi tugas angkatan berikutnya. Rudolf Hilferding di Austria melukiskan peranan yang semakin besar yang dimainkan oleh lembaga-lembaga finansial seperti bank dan pasar efek, dan munculnya hubungan yang semakin erat antara perusahaan-perusahaan dengan aparatur negara. Fenomena ini dicapnya “finance capital”. Rosa Luxemburg meneliti bagaimana kaum kapitalis Amerika dan Erope menjelajah ke seluruh pelosok dunia mencari pasar baru dan bahan mentah, sedangkan bangsa-bangsa lain dibuat semakin miskin. Nikolai Bukharin dan Vladimir Lenin menganalisir bangkitnya “state monopoly capitalism”, dengan menunjuk ke berfusinya perusahaan-perusahaan besar dengan aparatur negara sebagai cara untuk meluaskan kekusaaan imperialis guna menambah profit yang dihisap dari kompetisi damai. Dan ekspansi imperialis itu tak urung menimbulan perang antar-imperialis. Leon Trotsky menjelaskan bagaimana kelas-kelas penguasa, jika terancam oleh krisis ekonomi besar-besaran atau perjuangan militan kelas buruh, tidak keberatan menyambut gerakan-gerakan fasis berdasarkan kelas menengah untuk mempertahankan posisi ekonomi mereka, tidak peduli kalau gerakan ini menerapkan kebijakan biadab dalam skala yang luar biasa.

Dunia yang ditekuni oleh Hilferding, Lusemburg, Bukharin, Lenin dan Trotsky bersifat agak berbeda dari dunia masa Marx. Aparatus negara dan perang, dua topik yang tidak begitu menyolok dalam karya Marx, di sini sangatlah penting, seperti juga manipulasi harga oleh para konglomerat, tawar-menawar ekonomi antar-negara serta persekongkolan dan manuver para pemodal di pasar modal dan pasar komoditi. Lagipula, sistem kapitalis yang di masa Marx hanya muncul di Eropa dan Amerika, sekarang sudah meluas sampai seluruh dunia, dan terikat dalam sebuah jaringan global.

Meskipun demikian, masih ada satu unsur kontinuitas yang mahapenting. Sistem kapitalis secara keseluruhan masih terus didorong oleh penghisapan nilai lebih dari kerja kaum buruh, yang kemudian ditransformasikan menjadi modal — “kerja mati” — dan bergulir kemana-mana. Proses ini menentukan kondisi kehidupan mayoritas besar umat manusia. Kompetisi antara kaum majikan yang menguasai proses eksploitasi inilah yang mengakibatkan Perang Dunia I dan Depresi Besar tahun 1930-an.

Intervensi negara dalam kehidupan ekonomi

Hilferding, Luxemburg, Lenin dll sebenarnya mencatat segi-segi yang berbeda dari tendensi yang sama: integrasi pengelolaan industrial dan aparatur negara yang semakin mempercepat sebelum, selama dan seusai Perang Dunia II. Di hadapan kondisi krisis ekonomi, pemerintah-pemerintah melakukan intervensi untuk memfusikan perusahaan-perusahaan besar serta mengkoordinasikan kegiatan mereka dengan kegiatan birokrasi negara. Italia Fasis dan Jerman Nazi menempuh jalan itu. Kemudian degan pecahnya perang dunia, mereka disusul oleh Inggeris dan Amerika Serikat. Kelas-kelas penguasa lain yang lebih lemah menyusul pula; mereka mengira, hanyalah dengan menggunakan aparatur negara untuk mengerahkan sumber-sumber daya mereka dapat menghadapi musuh. Rezim yang beraneka-ragam seperti pemerintah sayap kanan di Polandia, rezim populis di Brasil dan pemerintah Peronis di Argentina semua menjalankan nasionalisasi industri dan perencanaan ekonomi. Banyak negeri dunia ketiga yang baru merdeka di masa paska perang menempuh jalan yang sama. Hal ini tidak banyak sangkut pautnya dengan sikap “kiri” atau “kanan”: pemerintah-pemerintah konservatiflah yang menasionalisasi perusahaan terbang di Inggeris dan perusahaan mobil Renault di Perancis.

Konteks ini membantu kita mengerti satu hal lain yang mahapenting selama dekade-dekade itu: fenomena Stalinisme. Sebelum tahun 1989 kebanyakan orang menganggap rezim-rezim Stalinis di Uni Soviet, RRC dll sebagai suatu versi sosialisme, walau mungkin dikira menonjolkan “distorsi” tertentu. Dewasa ini kita sudah terbiasa mendengar pendapat bahwa rezim-rezim itu jauh lebih jelek dari sistem kapitalis. Tetapi sebetulnya lebih logis sistem Stalinis tersebut dilihat sebagai satu kubu ekstrim dalam rangkaian kesinambungan antara (di satu pihak) negeri-negeri di mana intervensi negara relatif lemah dan (di pihak lain) negeri-negeri di mana intervensi itu sangat intensif. Semua negeri itu masih harus berkompetisi di dalam konteks kapitalisme global, termasuk Uni Soviet yang sebaiknya dimengerti sebagai masyarakat kapitalis-negara.

Ekonomi stalinis bukanlah produk revolusi Bolsyevik tahun 1917, melainkan timbul sejak tahun 1928 ketika sebuah kelas penguasa baru berkembang dan mengambil alih kekuasaan. Kelas penguasa itu hanya dapat bertahan di dunia internasional, yang didominasi oleh kelas-kelas kapitalis yang kuat jika ekonomi Rusia diindustrialisasi selekas mungkin guna mengejar ketinggalannya. Maka Stalin membangun industri di Rusia dengan meniru banyak cara yang digunakan dalam revolusi industri di Inggeris: menggusur kaum tani, menurunkan upah kaum buruh, mempekerjakan buruh anak, bahkan dia menjalankan semacam sistem perbudakan di gulag (kamp-kamp konsentrasi) di mana jutaan manusia hidup dan bekerja. Di saat yang sama dia mengandalkan aparatus negara untuk menyelesaikan sejumlah tugas yang tidak dapat dilakukan oleh modal swasta (yang masih lemah karena dampak revolusi buruh tahun 1917).

Hampir di mana-mana aparatus negara menjadi pelaku penting dalam ekonomi kapitalis semenjak dekade 1930-an sampai dengan pertengahan tahun 1970-an. Doktrin-doktrin yang digunakan untuk membenarkan peranan ini berbeda-beda dari satu negeri ke negeri yang lain. Di barat, doktrin Keynesian menjadi pilar ideologis utama — Keynes adalah seorang pemikir borjuis yang mengira intervensi negara telah menjadi satu-satunya tiang bergantung guna mempertahankan kapitalisme dalam depresi tahun 1930-an. Di Blok Timur (dan di kalangan kaum yang mengagumi metode-metode Soviet di barat dan dunia ketiga) bercokollah doktrin-doktrin Stalinis, yang biasanya berpura-pura sosialis bahkan Marxis. Di dunia ketiga, teori-teori “pembangungan” dirangkul oleh bermacam-macam rezim yang berusaha mencapai ekonomi-ekonomi industrial dengan mengandalkan aparatus negara guna memblokir persaingan dari luar negeri dan untuk membangun industri-industri baru.

Dan selama 45 tahun ini, semua pihak yang ingin memperbaiki kapitalisme sambil menghindari revolusi sosial mengharapkan intervensi aparatus negara dapat mencapai reformasi yang mereka inginkan. Di negeri-negeri maju, para pemikir Keynesian mengatakan, intervensi semacam itu dapat menyelamatkan kapitalisme; sedangkan kaum sosial demokrat mengatakan, intervensi tersebut akan menghindari perubahan yang terlalu gegabah ke arah sosialisme. Di dunia ketiga, partai-partai Komunis, golongan sosial demokrat, para politikus populis serta kaum intelektual semua berharap, intervensi negara bisa menyatukan kelas penguasa nasional dengan kaum buruh dan kaum tani dalam menghindari cengkeraman imperialis dan mencapai pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, tugas ini harus diselesaikan dulu, baru kemudian kaum buruh dan rakyat tertindas boleh memperjuangkan revolusi sosialis. Sebagian dari kaum aktivis masa kini, yang memprioritaskan pembelaan negara nasional melawan “globalisasi”, sedang merindukan pendekatan lama tersebut.

Namun kita amat salah arah jika melihat negara nasional sebagai sahabat. Aparatus negara mendasarkan diri pada tentara dan polisi yang terlatih untuk menghantam serta membunuh orang. Periode 1930-1975, ketika negara sering melakukan intervensi, bukanlah sebuah zaman kebahagiaan di mana rakyat diperlakukan secara adil. Sebaliknya, kedudukan kaum pekerja di zaman tersebut digambarkan dengan akurat oleh film di mana Charlie Chaplin menjadi perpanjangan mesin di pabrik. Di zaman itu kita menghayati pembunuhan jutaan manusia oleh rezim Hitler, bom-bom atomik yang menimpa kota-kota Jepang, represi stalinis di Eropa Timur dan gulag di Uni Soviet, paceklik di Bengal yang menelan korban 4 juta, bangkitnya rezim Suharto dengan pembunuhan separuh juta sampai sejuta orang, perang-perang kolonial di Indonesia dan Aljazair serta agresi AS di Vietnam. Selama periode ini banyak sekali negeri Amerika Latin yang dikuasai oleh kediktatoran militer, sedangkan di RRC proyek “Lompatan Besar” yang gegabah menyebabkan jutaan manusia mati kelaparan.

Selama periode itu, kapitalisme terus berkuasa dengan konsekwensi yang mengerikan. Mereka yang merindukan kapitalisme tahun 1930-75 agak melupakan fakta-fakta sejarah.

Selama tiga dasawarsa paska Perang Dunia II, sistem kapitalis memang mengalami pertumbuah ekonomi yang cukup lumayan, dan selama tahun-tahun itu sebagian rakyat jelata berhasil memaksa kaum penguasa meningkatkan standar hidup mereka. Namun perbaikan itu pun tidak disebakan oleh kemurah-hatian atau akal-budi kaum penguasa, melainkan kemakmuran itu dimotori oleh dana pemerintah AS, Inggeris dan Perancis untuk persenjataan, terutama senjata nukliir. Di puncak Perang Dingin pada tahun 1950-an, kira-kira seperlima dari kekayaan yang dihasilkan di Amerikat Serikat, negeri terkaya di dunia, dikeluarkan secara langsung atau tidak langsung untuk anggaran militer. Di Uni Soviet pengeluaran itu mungkin dua kali lipat, karena Uni Soviet jauh lebih lemah ekonominya.

Sementara itu, logika kapitalis terus berjalan. Perusahaan yang besar dan kuat terus mengambil alih perusahaan yang kecil atau lemah, sampai sektor-sektor utama didominasi oleh beberapa “ologopoli” besar. Di Inggeris umpamanya, kira-kira 200 perusahaan, yang dikelola oleh maksimal 600 sampai 800 direktur, menghasilkan lebih dari separuh dari produk industrial. Dan di pedesaan di hampir seluruh dunia, pola-pola pertanian semakin mendekati pola yang dirintis di Inggeris di masa revolusi industri: pertanian kapitalis mengganti pertanian tradisional, dan jutaan petani bermigrasi ke perkotaan mencari rejeki di pabrik.

Proses itu berjalan paling jauh di Amerika, dan di Eropa di mana proporsi orang yang bekerja di bidang agrikultur menurun dari 30-40 persen lebih di tahun 1950-an menjadi 20 persen kurang di pertengahan tahun 1970-an. Namun proses yang sama berlangsung pula di banyak negeri paska-kolonial jauh sebelum istilah “globalisasi” pernah kita dengar. Di India, misalnya, tanah yang paling subur di daerah Punjab semakin dimiliki oleh para petani kapitalis berukuran sedang yang mempekerjakan buruh tani, dan yang mampu beli bibit dan pupuk tipe baru yang disajikan oleh “Revolusi Hijau”. Di Aljazair, kelas menengah petani kapitalislah yang paling beruntung dari reform-reform agraria setelah negeri itu merdeka. Kapitalisme sedang merubah wajah seluruh dunia menurut bayangannya sendiri.

Lahirnya ideologi neo-liberal

Boom ekonomi paska-perang berhenti secara mendadak di pertengahan dasawarsa 1970-an. Yang pernah dijuluki “zaman emas” kapitalisme disusul oleh “zaman timah”. Banyak negeri mengalami krisis ekonomi yang parah. Dan semua doktrin yang bercokol pada “zaman emas” tersebut, gagal sama sekali memulihkan ekonomi “zaman timah” itu. Baru saat itulah kelas-kelas penguasa serta para intelektual yang melayani kelas itu tiba-tiba meninggalkan doktrin-doktrin lama dan menyambut teori baru, yang mula-mula dijuluki “monetarisme”, kemudian “Thatcherisme” atau “Reagonomics” dan sekarang sudah dicap dengan julukan “neo-liberalisme”.

Perubahan sikap seradikal ini bukanlah hasil propaganda licik saja. Sebaliknya perubahan tersebut mencerminkan upaya-upaya nekad yang dilakukan oleh berbagai faksi kapitalis untuk mempertahakan posisi mereka. Yang bergerak pertama adalah para pimpinan perusahaan-perusahaan terbesar. Setelah mengyaksikan meluasnya pasaran selama bertahun-tahun, tiba-tiba mereka harus merestrukturisasi operasi mereka serta mencari sumber profit tambahan.

Restrukturiasi itu berarti baik melakukan “efisiensi” — dengan memecat buruh bahkan menutup pabrik; maupun mencari pasar baru di luar masing-masing perbatasan nasional dengan mengekspor lebih banyak, tapi juga dengan mengorganisir proses-proses produksi secara internasional. Profit baru hanya bisa didapat dengan menemukan sumber nilai lebih yang belum pernah disadap. Salah satu sumber terletak di industri-industri dan jasa-jasa yang dibangun oleh negara di masa lampau karena modal swasta tidak sanggup, walau industri dan jasa itu memang diperlukan untuk perekonomian kapitalis. Ketika pemerintah dimana-mana menswastanisasi BUMN yang sudah dipelihara menjadi kuat, itu menjadi rezeki nomplok bagi kaum pengusaha sedunia. Apalagi BUMN itu sering merupakan monopoli sehingga dalam praktek para pemilik baru dapat mengenakan semacam “pajak” pada para nasabah.

Mereka menemukan profit tambahan dengan merampas sumber-sumber daya ekonomi negeri-negeri yang lemah. Perampasan tersebut dilakukan dengan pertolongan aparatus-aparatus negara yang kuat (terutama Amerika Serikat) dalam negosiasi tentang perdagangan dan hutang. Dan selain itu profit-profit netto dapat ditingkatkan dengan memindahkan beban perpajakan dari profit ke gaji dan barang dagangan.

Meski neo-liberalisme sebagai ideologi menolak intervensi negara, namun penerapan kebijakan-kebijakan ini dalam kenyataan selalu mengandalkan aparatus negara itu, atau paling banter mengandalkan sebuah proses tawar-menawar antar-negara. Itu sebabnya implementasi kebijakan tersebut tidak pernah berjalan dengan lancar. Redaksi harian bisnis The Financial Times sering mengernyutkan dahi mengenai pertengkaran sepele seperti percekcokan tentang impor pisang antara Eropa dan AS, karena pertengkaran itu dikhawatirkan dapat meluas menjadi sebuah konflik besar sampai melumpuhkan WTO. Perselisihan tajam juga terjadi mengenai persiapan mana yang harus dikerjakan oleh IMF untuk melakukan intervensi efektif, jika terjadi krisis ekonomi lagi seperti krismon di Asia. Para “teoretisi” neolib tidak memiliki solusi yang mudah bagi konflik-konflik ini. Soalnya, walau doktrin mereka menolak intervensi negara, namun ideologi neoliberalisme sebenarnya mencerminkan kepentingan negara AS, Eropa and Jepang yang senantiasa bertarung di arena ekonomi.

Golongan kedua yang menyambut ideologi neolib adalah para pejabat tinggi dan politisi yang mengelola aparatus negara. Dalam tahun-tahun kemakmuran ekonomi, mereka terpaksa harus menyediakan sebuah sistem tunjangan dan jasa yang dikenal sebagai “negara kesejahteraan”. Negara kesejahteraan tersebut berkembang sebagai aspek tambahan disamping lembaga-lembaga utama negara kapitalis — seperti tentara, senjata nuklir, penjara, pengadilan dll. Selama pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan profit yang cukup, para kapitalis memang bersedia menyetujui tunjangan dan jasa itu sebagai sebuah keharusan yang tak terhindari. Tetapi begitu profit mereka mulai berkurang, mereka mendesak agar negara kesejahteraan tersebut dipotong. Para pengelola aparatus negara tiba-tiba terjepit. Desakan itu tidak mungkin dilawan — bila dilawan, mereka akan segera dilanda oleh pelarian modal, mata uang mereka akan anjlok dan mereka akan terancam oleh kebangkrutan nasional. Tetapi di sisi lain, sistem kesejahteraan tidak bisa dibongkar begitu saja, karena itu dapat memprovokasi kekisruhan dalam masyarakat. Sehingga mereka mencoba sebuah “jalan ketiga” (di barat memang sering disebut The Third Way) dengan menggunakan mekanisme-mekanisme kompetitif guna memaksa para pegawai negeri dan para konsumen jasa-jasa itu untuk bersaing. Lewat persaingan tersebut, negara dapat mengurangi gaji yang dibayar kepada para pegawai dan juga mengurangi “upah sosial” (social wage) yang disajikan kepada rakyat.

Kadang-kadang ini dilakukan melalui swastanisasi dan kemunduran aparatus negara dari bidang tertentu. Namun seringkali tujuan yang sama dicapai dengan cara lain: membatasi dana yang diberikan departemen-departemen pemerintahan, memotong anggaran pemerintahan di daerah-daerah sambil meningkatkan tugas-tugas mereka, atau menerapkan mekanisme-mekanisme yang meniru operasi pasar di dalam badan-badan penyedia dinas sosial. Dalam kasus-kasus itu negara tidak mundur, melainkan justeru melakukan intervensi guna meningkatkan profit yang dapat dihisap oleh kelas penguasa. Selain itu dinas-dinas tertentu dikontrakkan kepada pihak swasta.

Golongan ketiga yang merangkul pendekatan neolib adalah kelas-kelas penguasa di luar negeri-negeri maju industrial. Sejak tahun 1940-an sampai dengan tahun 1970-an mereka berusaha membangun industri melalui berbagai strategi kapitalis-negara, seperti Program Benteng di Indonesia umpamanya. Bahkan pada waktu boom ekonomi paska Perang Dunia II, upaya itu tidak begitu berhasil, dan rakyat harus membayar mahal. Begitu boom tersebut selesai, upaya itu sama sekali tidak sukses. Sederetan rezim membanting stir, meninggalkan pendekatan kapitalis-negara dan berusaha mengintegrasikan negeri-negeri mereka ke dalam pasaran internasional. Fenomena itu mulai di Mesir, Polandia, Hongaria dan Yugoslavia di pertengahan tahun 1970-an; terjadi di India dan berbagai negeri Amerika Latin di tahun 1980-an; kemudian terjadi pula di seluruh (mantan) blok Soviet serta Afrika pada awal tahun 1990-an. Kaum penguasa di negeri-negeri tersebut memutuskan menyerahkan monopoli mereka atas ekonomi nasional, guna menikmati hasil pribadi yang dapat mereka raih sebagai mitra muda kaum pemodal besar multinasional.

Di Mesir, Anwar Sadat pernah ikut mendukung Presiden Nasir dalam menasionalisasi sejumlah industri pada masa lampau; tapi di tahun 1970-an dia membuka perekonomian nasional kepada pasar bebas. Di India, Partai Kongres yang menganut perencanaan negara di tahun 1960-an, kemudian menghentikan perencanaan tersebut di tahun-tahun berikutnya. Di RRC Deng Xiaoping, yang bertahun-tahun terlibat dalam membangun sebuah negara stalinis monolit, kemudian mengambil prakarsa untuk berpaling ke pasaran internasional pula.

Susan George mencatat bagaimana rezim-rezim dunia ketiga pada umumnya menyambut dengan antusias kebijakan-kebijakan Structural Adjustment Program yang diajukan oleh IMF serta Bank Dunia:

Kaum kaya dan berpengaruh di negeri-negeri penyandang hutang sering cukup puas dengan cara yang dilakukan untuk menanangi krisis ini. Kebijakan structural adjustment sudah memotong upah kaum buruh, sedangkan undang-undang (jika ada) yang melindungi kondisi kerja, kesehatan, keselematan dan lingkungan alam tidak perlu terlalu dihiraukan … Setelah kurang-lebih luput dari akibat buruk masalah hutang, mereka semakin berkeinginan untuk ikut golongan elit global …

Selama 20 tahun ini kita menyaksikan perusahaan-perusahaan tertentu di dunia ketiga, yang sudah bertumbuh menjadi kuat di masa perencanaan dan proteksi oleh negara, kemudian menjelma menjadi perusahaan multinasional juga. Jelas mereka belum sebesar General Motors, Microsoft atau Monsanto, tetapi aspirasinya memang ke arah itu.

Golongan terakhir yang menyambut doktrin-doktrin neolib adalah kaum intelektual, yang dulu menaruh harapan kepada perencanaan dan proteksi oleh aparatus negara. Di Inggeris, berbagai tokoh Partai Buruh, yang pada tahun 1970-an dan 1980-an telah menganjurkan “kebijakan ekonomi alternatif” yang porosnya ke perencanaan oleh negara, sekarang sebagai anggota pemerintahan Tony Blair ramai-ramai menganut program swastanisasi. Sejumlah teoritisi intelektual, yang dulu mendukung jurnal “Marxism Today” berkaitan dengan Partai Komunis, dewasa ini menyambut pasar bebas pula.

Di beberapa pelosok dunia proses peralihan ini masih belum tuntas. Di Afrika Selatan, pemerintah ANC sudah merangkul para pemilik modal dan melakukan swastanisasi, dan seorang anggota Partai Komunis dari Sudan memberikan saya sebuah pernyataan dari partai tersebut yang mengatakan, satu-satunya jalan untuk mencapai pembangunan mesti melawati kebijakan pasar bebas yang berorientasi ekspor. Dalam hal ini komentar Vandana Shiva sangatlah benar: “Kaum penguasa di dunia ini — di pemerintahan, di kancah politik, di mass media dan di dunia usaha — sedang bersatu saat ini menjadi sebuah aliansi global yang melebihi pembelahan lama antara Utara dengan Selatan.”

Meski demikian ada banyak pula intelektual yang menolak neo-liberalisme, dan kritik-kritik hebat mereka sudah saya kutip di atas. Tapi sayangnya mereka belum juga melacak kontradiksi-kontradiksi kapitalisme sampai tuntas, sehingga argumentasi mereka masih mengandung sejumlah kontradiksi yang hendak kita simak dalam bagian berikutnya.

Kontradiksi teoritis

Pola-pola perdagangan, aliran modal ataupun beban hutang hanya merupakan beberapa aspek dari sebuah sistem kapitalis yang lebih luas. Usaha untuk menangani aspek ini atau itu secara terpisah bisa dielak dengan mudah oleh mereka yang menguasai sistem tersebut — atau lebih parah lagi, jika dampak-dampaknya yang mengerikan dapat ditangkis oleh satu bagian dari rakyat tertindas, dampak tersebut hanya akan menimpa rakyat tertindas lainnya.

Ini sudah menjadi jelas dalam perdebatan mengenai “fair trade” (perdagangan adil) dan buruh anak. Kalau kita mentolerir upah rendah serta dipekerjakannya anak-anak, itu berarti kita mengizinkan para majikan menyengsarakan manusia melalui penghisapan yang kejam. Namun jika kita hanya melakukan perjuangan disekitar masalah-masalah ini saja, itu berarti kita belum merubah kondisi-kondisi mendasar yang memaksa orang untuk bekerja di bawah majikan semacam itu. Negeri-negeri miskin di Afrika, Amerika Latin, Asia dan bekas Blok Timur akan tetap miskin. Sehingga perjuangan melawan upah rendah atau membela kaum buruh anak hanya betul-betul efektif jika perjuangan ini menjadi batu loncatan untuk perjuangan dan kemenangan yang lebih besar.

Sama halnya dengan perjuangan untuk mencegah perusahaan-perusahaan menutup pabrik dan berpindah ke tempat lain di mana upah lebih rendah. Tentu saja kita harus melakukan perjuangan itu, namun dengan perjuangan tersebut paling banter kita mencapai solusi sementara. Salah-salah kita harus mengemis pemerintah untuk menyuapi perusahaan tersebut supaya tidak pindah. Sedangkan kemiskinan yang memaksa orang di tempat lain itu untuk menerima upah rendah belum juga diselesaikan. Maka kita membutuhkan sebuah strategi untuk menggoyangkan para pemilik modal di tingkat global.

Perdebatan-perdebatan di dalam kampanye anti-hutang berasal dari sumber yang mirip. Jika kita tidak mempermasalahkan beban hutang, itu berarti kita ikut berdosa dalam perampasan yang dilakukan oleh bank-bank besar; namun kalau kita membatasi perjuangan kita ke masalah hutang saja, itu berarti tidak menyentuh faktor-faktor lain yang menyebabkan kemiskinan di dunia ketiga, dan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah-masalah ini akan tetap dipegang oleh kaum penguasa kapitalis.

Tidak sedikit aktivis, termasuk para jurubicara kelompok ATTAC di Perancis, menuntut agar pajak “Tobin Tax” dikenakan pada transaksi finansial yang melintasi perbatasan-perbatasan nasional. Ada yang berpendapat, sebuah pajak serendah 0,5% dapat menghalangi para spekulator merongrongi mata-mata uang yang lemah; mereka berharap kebijakan ini bisa memberikan solusi untuk sejumlah aspek negatif proses globalisasi. Menurut Robin Round:

Pasar modal internasional telah menjadi sebuah kasino global … Berbeda dengan para investor di bidang barang dan jasa, spekulator-spekulator ini menarik untung dari memainkan uang saja, tanpa menciptakan lowongan kerja, menyediakan jasa, ataupun membangun pabrik … Dengan membuat krisis finansial lebih jarang terjadi, pajak ini akan membantu dalam menghindari pengrusakan ekonomi yang disebabkan oleh krisis tersebut, sekaligus menjadi sumber dana global … Menurut perhitungan konservatif, pajak ini dapat menghasilkan $150 sampai $300 milyar setahun. Sedangkan menurut PBB, untuk memberantas bentuk-bentuk kemiskinan dan pengrusakan lingkungan alam yang paling parah hanya diperlukan dana sebesar $225 milyar.

Kita harus mensyukuri segala upaya untuk memindahkan beban pajak dari bahu kaum miskin ke bahu kaum kaya, dan inilah segi bagus organisasi seperti ATTAC. Mereka menarik perhatian pada perlunya menyita kekayaan yang dimiliki oleh pihak kapitalis. Namun tidak benar satu pajak bisa memecahkan masalah-masalah pokok yang dihadapi umat manusia pada awal abad XXI.

Yang pertama, arus-arus finansial hanya merupakan satu sumber krisis di antara banyak. Faktor yang lebih berarti adalah persaingan buta antara perusahaan industrial dan komersial, yang meningkatkan profit mereka dengan mengurangi standar hidup massa rakyat sekaligus mempercepat produksi. Tingkah laku kontradiktif ini tak urung menyebabkan krisis di pasaran karena rakyat tidak lagi mampu membeli hasil produksi tersebut. Yang menjadi biang keladi bukan hanya para spekulator di pasar modal, tetapi juga perusahaan industrial seperti General Motors, Toyota, Monsanto atau IBM.

Yang kedua, pajak Tobin Tax itu merupakan sebuah alat yang terlalu lemah untuk menghentikan spekulasi. Pakar ekonomi keynesian P Davidson telah membuktikan bahwa pajak sebesar 0,5% jauh terlalu rendah. Para spekulator akan terus memindahkan modal mereka jika menduga devaluasi mata uang besar-besaran akan terjadi seperti pada waktu krismon tahun 1997. “Butir-butir pasir di dalam roda-roda finansial sedunia tidaklah cukup,” tulisnya, “yang diperlukan, batu-batu besar.”

Sebenarnya, usulan untuk menerapkan Tobin Tax itu memuat sebuah kontradiksi yang serius. Jika berhasil mengurangi spekulasi, artinya arus modal akan menyurut, sehingga pajak tersebut tidak bisa menghasilkan begitu banyak dana. Atau sebaliknya, jika dapat menghasilkan dana yang diaharapkan, itu berarti fenomena spekulasi berjalan terus.

Bagaimanapun juga, upaya untuk menerapkan Tobin Tax pasti akan dilawan secara mati-matian oleh kaum kaya sedunia. Pemerintah yang menerapkan usulan ini secara serius akan mengalami tekanan ekonomi dan politik yang hebat. Sedangkan untuk membuat Tobin Tax ini menjadi efektif, pajak tersebut harus dikenakan dimana-mana di dunia di saat yang sama. Sehingga, usulan ini tak mungkin diterapkan tanpa perjuangan massa internasional.

Seperti usulan lain yang mirip mengenai fair trade, buruh-buruh anak, hutang dan sebagainya, argumentasi sekitar Tobin Tax sangat berguna dalam menarik perhatian masyarakat pasa masalah-masalah sosial yang genting. Tapi seperti usulan itu pula, argumentasi ini baru efektif ketika menjadi batu loncatan untuk perjuangan lebih luas.

Perdebatan antara pihak “developmentalis” (para penganut “pembangunan”) dengan pihak “tradisionalis” (yang menganut gaya hidup tradisional) juga cenderung hanya memperhatikan aspek-aspek terbatas. Kemiskinan di dunia ketiga disebabkan karena perkembangan kapitalis telah mengkonsentrasikan kekayaan sedunia — hasil jerih payah umat manusia — di tangan kelas-kelas penguasa beberapa negeri maju. “Developmentalisme” muncul sebagai usaha kaum penguasa dunia ketiga, didukung secara antusias oleh kalangan intelektual, untuk mengimbangi kemiskinan tersebut dengan memaksakan sebuah proses industrialisasi dan perubahan agraria yang mirip dengan apa yang terjadi di zaman revolusi industri di barat. Namun karena proses itu dimulai terlambat, proses tersebut membuat penderitaan rakyat dan pengrusakan lingkungan alam menjadi lebih parah lagi. Meski demikian, hasil-hasil industrialisasi belum begitu besar, dan kita tidak bisa memecahkan persoalan yang dihadapi oleh rakyat tertindas dengan kembali ke jalan industrialisasi nasional yang kurang efektif itu. Namun cara-cara “tradisional” juga bukan solusi yang progresif. Kedua-duanya tidak memadai.

Karl Marx telah mendiskusikan persoalan yang mirip 150 tahun yang lalu. Kritik-kritik yang tajam tentang kapitalisme telah dilakukan oleh para pengritik Romantis yang melihat ketidakmanusiawian kapitalisme tetapi mengusulkan agar umat manusia kembali ke masa lampau. Komentar Marx:

Adalah menggelikan jika kita rindu dan ingin kembali kepada keutuhan asli itu, seperti juga menggelikan kalau kita percaya bahwa dengan kekosongan komplit yang ada sekarang, perkembangan sejarah telah selesai. Pandangan borjuis belum pernah melampaui antitesis antara diri sendiri dan pandangan Romantis, maka pandangan terakhir ini akan menemaninya sampai akhir hayat.

Kita tidak bisa mengatasi kebiadaban sistem kapitalis dengan kembali ke masa lampau, melainkan kita harus mengembangkan sebuah strategi untuk menyita sumber-sumber daya produktif yang diciptakan oleh kapitalisme, agar bisa digunakan demi kepentingan umat manusia. Dana yang dikeluarkan dalam anggaran militer Amerika saja sudah cukup untuk mentransformasikan kehidupan semua buruh dan petani di dunia ketiga. Jika ditambah oleh uang yang diboroskan bagi periklanan, serta konsumsi mewah oleh 200-300 orang terkaya di dunia, sudah mencukupi untuk memberantas kemiskinan di dunia ketiga serta memperbaiki kehidupan kaum pekerja di negeri-negeri maju.

Akumulasi modal telah terjadi di tingkat global secara besar-besaran. Konsekwensinya tidak bisa diatasi dengan kegiatan lokal, baik tipe “tradisonal” maupun “developmentalis”. Mendingan kita menyambut semangat aksi di Seattle, yang mensinyalir perlawanan global.

Agen-agen pengubah

Tinggal bertanya, siapa yang akan memimpin perlawanan global tersebut? Kekuatan mana yang dapat dimobilisasi, dan kekuatan mana yang mampu untuk memenangkan perubahan mendasar? Di sini ada bermacam-macam pendapat pula.

Banyak aktivis di Seattle yang mengajukan taktik reformasi melalui struktur pemerintahan yang ada. William Greider mengajukan reform-reform legal guna membuat perusahaan-perusahaan multinasional lebih bertanggung-jawab. Menurut dia, para legislator harus memaksa perusahaan tersebut “memberikan data persis tentang pengrusakan lingkungan alam”; dan Steven Shryber mau mengandalkan tekanan opini publik untuk memaksa para politikus mereformasi WTO.

Aktivis lain sudah sadar bahwa sistem imperialis tidak bisa direformasi begitu saja, sehingga mereka berharap rezim-rezim dunia ketiga dapat melakukan perlawanan. Walden Bello membicarakan “usaha-usaha oleh masyarakat dan negara-negara [dunia ketiga] untuk merebut kembali kontrol atas nasib mereka.” Menurut dia mekanisme kunci adalah UNCTAD, di mana negara-negara dunia ketiga berada dalam mayoritas; kata Bello, badan itu dapat “memainkan peranan aktif dalam mengurangi kewenangan WTO dan IMF”.

Pendekatan ini kurang memperhatikan sifat-sifat rezim-rezim dunia ketiga. Hampir semua rezim itu didominasi oleh para elit setempat, yang berniat mengintegrasikan ekonomi mereka ke dalam pasaran global, walau masih ingin mengadakan tawar-menawar tentang syarat-syaratnya. Yang menjadi perkecualian hanyalah sejumlah kediktatoran, seperti rezim Sadam Hussein, yang menindas rakyatnya sendiri dan biasanya menggabungkan unsur-unsur kapitalisme-negara dengan korupsi dalam skala besar. Kita cukup naif kalau menaruh harapan kepada rezim semacam itu untuk menjalankan perubahan yang menguntungkan rakyat. Dan naif juga jika membayangkan, saat rezim-rezim itu duduk bersama dalam badan-badan internasional, tiba-tiba sikap mereka berubah menjadi progresif.

Melihat bahwa amat susah untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, sejumlah aktivis lain memusatkan perhatian mereka pada kegiatan di daerah-daerah. Menurut Susan George:

Beribu-ribu kegiatan sedang berlangsung di tingkat lokal, di mana masyarakat melawan konstruksi tempat sampah beracun, atau jalan tol, atau penutupan pabrik. Kadang prakarsa-prakarsa ini dapat digabungkan, misalnya lewat gerakan “Sustainable and Self Reliant Communities Movement” … Lusinan kota yang ukurannya bermacam-macam sudah bereksperimen dengan perusahaan perseroan yang sahamnya dimiliki oleh warga-warga setempat, guna menyediakan barang dan jasa demi kepentingan warga itu.

Namun sumber daya yang dapat diakses untuk kegiatan lokal ini kecil sekali dibandingkan dengan negara imperialis dan perusahaan multinasional. Mana mungkin mereka memenuhi kebutuhan masyarakat — kecuali jika kita bersedia hidup melarat. Paling banter kegiatan ini bisa menciptakan kantong-kantong kecil yang tidak mengurangi kekuatan sistem kapitalisme global.

Susan George sendiri merujuk ke hal in ketika menulis: “Kita harus menemukan cara untuk menghentikan orang yang tidak sudi berhenti (people who will stop at nothing). Kapitalisme transnational tidak ada hentinya. Dengan perusahaan-perusahaan transnasional dan cucuran modal yang tak terkendali, perkembangan kapitalisme sudah mencapai tingkat yang berbahaya — dan sistem ini akan terus melahap sumber-sumber daya manusia dan alam, sekaligus merusak planet ini.” Namun kemudian dia kembali menganjurkan taktik-taktik penekanan terhadap negara sambil menganut Tobin Tax dan semacamnya.

Menurut Susan George, pemerintah-pemerintah harus dilobi oleh aliansi tertentu. Dalam bukunya The Debt Boomerang (Bumerang Hutang) dia menuliskan:

[Kita harus] membangun jembatan di barat antara para pecinta alam, aktivis buruh, orang yang concern pada hal narkotika, para pembela hak-hak kaum imigran, anggota grup solidaritas dengan dunia ketiga atau LSM-LSM … Semoga semua sektor ini bisa bekerjasama untuk mendukung kebijakan alternatif sekaligus bekerjasama dengan kawan-kawan imbangannya di dunia ketiga.

Banyak aktivis melihat aksi di Seattle sebagai contoh bagaimana aliansi ini dapat dibangun, dengan menggabungkan wakil petani, kelompok aktivis, LSM, masyarakat adat dan serikat-serikat buruh. Tetapi soalnya, kita tidak boleh menggabungkan semua unsur ini dalam satu timbunan tanpa memperhatikan perbedaannya. Ada berbagai kelompok aktivis minoritas tanpa banyak pengaruh. Ada organisasi lain yang berbasis massa, tapi organisasi tipe ini juga agak bervariasi.

Misalnya gerakan-gerakan petani jarang mewakili satu lapisan sosial, karena kapitalisme internasional telah membiakkan perbedaan-perbedaan di dalam tubuh kelas petani: yang lebih makmur ingin menjadi petani kapitalis modern, dengan membeli tanah dari petani lain lantas mempekerjakan mereka sebagai buruh tani. Ketika Luis Hernandez Navarro menulis tentang “para produsen di pedesaan yang menjadi tulang punggung mobilisasi baru” dia kurang memperhatikan bahwa agrikultur di Eropa sudah menjadi sebuah industri kapitalis di mana tidak ada lagi banyak petani dalam artian tradisional. Bahkan di negeri-negeri miskin seperti India cukup sering kaum tani kaya sudah mendominasi organisasi-organisi tani. Mungkin mereka akan ikut mobilisasi demi kepentingan bersama dengan kaum tani miskin dalam jangka pendek (misalnya untuk menurunkan harga pupuk) tapi pasti ada konflik kepentingan dalam jangka panjang. Sama halnya dengan banyak organisasi di kampung, yang timbul untuk memperjuangan air minum yang bersih atau penyediaan tenaga listrik misalnya. Perjuangan ini sering militan. Namun sering juga dikooptasi oleh politisi yang korup, yang berani menyediakan dinas dalam skop terbatas guna mengambil hati warga-warga setempat serta membangun jaringan agen mereka. Itulah sebabnya rezim-rezim otoriter dan korup seperti Orde Baru sering berhasil melemahkan gerakan oposisi.

Ada yang melihat LSM-LSM sebagai pelaku utama dalam memperjuangkan perubahan. Menurut Hernandez Navarro, “adanya jaringan komputer modern dan ratusan LSM, serta kemampuan para aktivis untuk mengelilingi dunia telah memungkinkan dibentuknya kantong-kantong perlawanan yang melintasi perbatasan nasional.” Internet memang berguna untuk melakukan kerjasama internasional. Tetapi LSM-LSM itu hanya merupakan kelompok minoritas yang harus memobilisasi orang lain, kalau tidak hanya ingin melobi-lobi instansi pemerintahan melainkan betul-betul mau memaksa badan-badan itu berubah sikap. Oleh karena itu banyak LSM progresif yang bergerak di bidang agitasi massa, bukan hanya advokasi atau penelitian.

Mereka yang menaruh harapan pada LSM itu sering merujuk ke peristiwa-peristiwa di Meksiko, di mana tekanan dari LSM-LSM menghalangi pemerintah menghancurkan perjuangan Zapatista. Tapi mereka lupa bahwa LSM itu tidak mampu menghalangi pemerintah menyerang gerakan Zapatista tersebut. Pemberontakan itu tetap terisolasi di satu daerah di Meksiko selatan, dan kaum penguasa di tingkat nasional tidak terlalu direpotkan. Bahkan dalam pemilu tahun 2000, calon neoliberal Vicente Fox yang menang.

Selain itu masing-masing LSM cenderung berfokus pada satu masalah saja: hak azasi manusia, atau hutang, atau buruh, atau perempuan. Soalnya, jika ditawarkan konsesi tertentu di bidang spesial mereka, para aktivis dapat terpancing untuk ikut mendukung kegiatan yang sama sekali tidak progresif. Misalnya waktu intervensi imperialis di Teluk, tidak sedikit aktivis HAM yang mendukung negara-negara imperialis karena pemerintah Sadam Hussein telah melanggar HAM itu. Baru-baru ini sebuah laporan tetang gerakan Zapatista yang diterbitkan oleh pemerintah Amerika mengusulkan agar LSM-LSM digunakan demi kepentingan imperialis A.S.

Oleh karena itu, Susan George ingin memperluas aliansi yang ada. Dalam The Lugano Report dia menuliskan bahwa “aliansi-aliansi kita harus lintas angkatan, lintas sektor, lintas perbatasan…” Tapi orientasi ini terkadang berbahaya pula. Susan George mengusulkan agar berbagai politikus konservatif diajak beraliansi karena mereka melawan rencana multinasional tertentu. Bahkan dia bersedia mengajak perusahaan transnasional tertentu seperti perusahaan asuransi. Soalnya sekutu semacam ini tidak akan melakukan tindakan apa-apa yang bisa mengancam dinamika kapitalis yang sedang merusak dunia kita, karena mereka justeru menarik keuntungan dari dinamika tersebut. Kita harus mencari sekutu di bidang lain.

Kelas pekerja

Di Seattle banyak aktivis menyaksikan untuk pertama kalinya, kaum buruh tampil sebagai sebuah kekuatan dalam perjuangan sosial. Cukup lama organisasi-organisasi buruh di Amerika kelihatan pasif terhadap kampanye anti-militer atau anti-nuklir. Bahkan para aktivis dari Eropa, yang memang pernah menyaksikan kaum buruh ikut aksi protes politik, masih cenderung melihat mereka sebagai sebuah lapisan “aristokratik” (labour aristocracy) yang ikut beruntung dari eksploitasi dunia ketiga. Namun di Seattle para serikat buruh Amerika ikut berdemonstrasi. Tiba-tiba para aktivis mulai sadar bahwa perjuangan melawan PHK dan melawan “efisiensi” kapitalis di barat bisa digabungkan dengan perjuangan melawan kemiskinan di dunia ketiga dan pengrusakan lingkungan alam.

Namun tulisan-tulisan yang terbit paska-Seattle jarang menonjolkan banyak pengertian tentang kenapa gerakan buruh ikut terlibat dalam aksi itu, dan peranan mana yang bisa dimainkan oleh kelas buruh. Kaum buruh cuma dilihat sebagai salah satu sekutu di antara banyak sekutu lain, yang kebetulan ikut berdemo. Karena kebanyakan aktivis belum mengerti bahwa sistem kapitalis bukan hanya sebuah persekongkolan antara beberapa majikan. Kapitalisme global belum dipahami sebagai sistem akumulasi nilai lebih, di mana sebagian besar nilai lebih itu berasal dari eksploitasi tenaga kerja upahan. Para aktivis belum mengerti bahwa sistem ini didorong oleh upaya untuk menghisap semakin banyak nilai lebih, sehingga tidak ada tempat berteduh di dunia ini di mana standar hidup atau kondisi kerja kaum buruh tidak terancam.

Sebaliknya, mereka cendering melihat kaum pekerja di negeri-negeri maju sebagai kolaborator dengan sistem global, dan pendapat itu seakan-akan dikonfirmasikan oleh fakta bahwa para pekerja itu hidup lebih makmur dari mayoritas rakyat dunia ketiga. Namun kesan itu berdasarkan persepsi-persepsi yang salah tentang dinamika sistem tersebut. Perusahaan-perusahaan kapitalis didorong oleh perlunya menghimpun modal, sehingga mereka melakukan investasi di mana saja para pekerja dapat dihisap secara paling efektif. Pada awal abad XXI investasi itu terkonsentrasi di negeri-negeri maju disamping beberapa “Newly Industrialising Countries” yang sedang berkembang. Di sinilah sumber-sumber nilai lebih dapat disadap dengan paling mudah, karena tenaga kerja di negeri-negeri maju adalah yang paling produktif karena paling terampil, disebabkan berbagai faktor historis: banyaknya modal yang sudah terakumulasi; prasarana-prasarana transportasi, enerji dan air; penyediaan tenaga kerja yang berpendidikan, dan lain sebagainya.

Di bawah kapitalisme, manusia yang paling miskin bukanlah mereka yang paling tereksploitasi, melainkan mereka yang dikesampingkan sama sekali oleh sistem kapitalis itu, seperti tunakarya yang sudah lama menganggur — kemiskinan ini disebabkan karena para kapitalis tidak bisa menghisap profit yang cukup dengan mengeksploitasi mereka. Demikian halnya juga dengan jutaan orang miskin kota di dunia ketiga, yang menderita karena sistem kapitalis tidak mengizinkan mereka bekerja secara tetap — artinya mereka tidak berhak dieksploitasi secara konstan. Kensengsaraan mereka merupakan satu bukti tentang kebiadaban sistem ini, namun sumber-sumber utama dinamika kapitalis bukanlah di sini, melainkan letaknya dalam kelas pekerja yang dipekerjakan oleh kelas kapitalis. Dan upaya kelas kapitalis yang tanpa jeda untuk meningkatkan profit tak urung menimbulkan konflik antara kedua belah pihak.

Karena investasi cenderung terpusat di negeri-negeri maju, maka para pemilik modal terpaksa terus berusaha mengurangi upah dan kondisi kerja kaum buruh. Sehingga para majikan secara senantiasa menuntut “fleksibilitas” di tempat kerja dan berupaya memaksa para pekerja bersaing dalam mencari kerja, sambil menjalankan “reform” yang memotong asuransi kesehatan dan tunjangan sosial. Hal ini sudah berdampak besar pada psikologi kaum pekerja. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, kaum pekerja merasa puas karena nasib mereka agak membaik sejak akhir Perang Dunia II. Sedangkan dewasa in, nasib mereka terasa memburuk lagi, karena mereka harus bekerja lebih keras dan lebih sering diPHK. Di saat yang sama, para penguasa dunia ketiga dan mantan negara “komunis” juga menyetujui kebijakan IMF dan Bank Dunia, serta memeras kaum pekerja and petani mereka secara lebih intensif lagi.

Namun manusia jarang berserah diri begitu saja untuk diperas: biasanya mereka mencari taktik untuk membela diri. Reaksi mereka sering defensif dan terbatas. Di sembarang surat kabar di mana saja di dunia, kita mendapati berita tentang perjuangan setempat: aksi protes atas penutupan rumah sakit atau kenaikan tarif angkutan umum, kekisruhan karena pencabutan subsidi atas bahan-bahan pokok, aksi mogok karena PHK massal di perbankan, dan semacamnya. Para peserta sering tidak melihat kaitan antara aksi mereka dan perkembangan global; masalah-masalah yang mereka hadapi dikira berasal dari dosa-dosa sejumlah politikus yang korup, perwira militer yang kejam atau majikan yang rakus. Dengan cakrawala sempit ini tidak gampang aksi-aksi ini bersatu menjadi sebuah mobilisasi umum, guna memecahkan persoalan-persoalan tersebut secara tuntas. Tapi hal ini tidak mustahil. Pemogokan kaum buruh tambang di Inggeris pada tahun 1980, walau bersifat defensif dan akhirnya kalah, tetapi menarik perhatian masyarakat luas dan membuat banyak warga Inggeris melek tentang kebijakan reaksioner pemerintah konservatif waktu itu. Pemogokan umum di Perancis pada tahun 1995 mendapatkan dukungan mayoritas rakyat dan berhasil mengalahkan pemerintah. Sedangkan aksi mahasiswa yang menduduki gedung DPR pada tahun 1998 menjadi inspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada tahun 2000 kita menyaksikan tumbangnya pemerintah Ekuador disebabkan sebuah gelombang demonstrasi oleh kaum buruh dan masyarakat adat, pemogokan umum di Argentina, Nigeria dan Afrika Selatan, aksi protes para petani di Brazil, kerusuhan massal karena kenaikan tarif angukutan umum di Guatemala, dan aksi mogok di sektor publik di Norwegia. Semua peristiwa ini merupakan reaksi terhadap dinamika globasisasi.

Potensi kaum pekerja untuk menantang sistem kapitalis jauh melebihi potensi demonstrasi di jalanan. Demonstrasi hanya merupakan aksi “unjuk rasa”, sedangkan aksi mogok mempunyai implikasi yang jauh lebih besar. Karena kaum pekerja terkonsentrasi di tempat-tempat kerja dan di kota-kota besar secara permanen, dan pekerjaan mereka menciptakan nilai lebih yang memotori sistem kapitalis, sehingga potensi mereka mampu untuk melumpuhkan sistem itu. Mereka jarang memenuhi potensi ini, karena belum memiliki kepercayaan diri dan kesadaran yang perlu. Para aktivis anti-kapitalis harus menemukan cara-cara untuk merealisasikan potensi tersebut. Seperti kata Rosa Luxemburg sebelum dibunuh oleh militer Jerman pada tahun 1919: “Tempat rantai-rantai kapitalisme ditempa, disitulah rantainya harus diputuskan.”

Dinamika gerakan kita

Setiap gerakan perlawanan pasti melawati dua tahapan. Dalam tahap pertama, gerakan baru itu meledak secara tak tersangka, menyenangkan para pendukung serta mengejutkan para lawannya. Mula-mula gerakan itu berkesan sanggup mengatasi segala halangan dengan momentum spontannya saja. Para pendukung merasa begitu antusias sampai melupakan perselisihan lama dan bersatu dalam perjuangan. Namun musuh tidak menyerah begitu saja. Dengan cukup cepat musuh itu mengembangkan taktik-taktik defensif dan alat-alat pemecah belah, dan gerakan tersebut akan kehilangan momentum. Di saat itu, perselisihan tentang strategi dan taktik tak urung muncul lagi.

Hal ini terjadi dalam gerakan anti senjata nuklir di Inggeris pada dasawarsa 1950-an. Euforia yang bercokol di awal gerakan dalam waktu tiga tahun disusul oleh pertengkaran, antara mereka yang mengharapkan perubahan melalui parlemen dan mereka yang mementingkan aksi massa. Sepuluh tahun kemudian perdebatan yang mirip muncul di Amerika dalam gerakan melawan intervensi A.S. di Vietnam. Kalau perbedaan pendapat ini tidak diselesaikan, gerakan bisa tercerai-berai. Gerakan anti-kapitalis paska-Seattle belum sampai ke tahapan kedua, tetapi sudah ada perdebatan tertentu yang harus diselesaikan agar gerakan kita tidak kehilangan arah. Pertikaian yang paling panas terjadi di London setelah aksi May Day tahun 2000. Pengrusakan sepele (jendela-jendela hancur di satu restoran MacDonalds, patung Winston Churchill yang dicat oleh para pendemo) menjadi topik hangat di mass media. Reaksi mass media semacam itu adalah hal yang biasa. Namun sebuah perdebatan meletus juga di situs internet para penyelenggara aksi tersebut, dan mereka yang melakukan pengrusakan kecil itu juga dikecam secara emosional oleh George Monbiot, seorang wartawan yang menjadi jurubicara gerakan anti-kapitalis. Si Monbiot menulis bahwa “Gerakan kita … kehilangan akal” karena pengaruh sejumlah “orang gila”.

Kekhawatiran ini bukan sesuatu yang 100% baru. Setelah demonstrasi di Seattle Media Benjamin, seorang tokoh termuka dalam jaringan “Global Exchange”, mengeluh bahwa “segelintir demonstran” merusak perasaan solidaritas dengan “menghancurkan jendela, menjungkirbalikkan tong sampah, menjarah toko, memukul para pejabat WTO serta pekerja dan pembeli di toko-toko…” Hal ini “berkesan negatif di mata masyarakat umum”. Menurut dia yang berdosa adalah golongan anarkis tertentu.

Reaksi George Monbiot lebih galak lagi, tidak hanya menyalahkan kaum anarkis tetapi juga para aktivis organisasi Reclaim the Streets, walau para aktivis itu memang ingin melakukan aksi damai. Menurut Monbiot mereka juga bersalah karena kurung memahami apa yang dapat tercapai dengan aksi protes: “Aksi tanpa kekerasan sering disalahartikan. Bukanlah sebuah upaya untuk mengubah dunia dengan kegiatan fisik, melainkan sebuah aksi simbolis guna menarik perhatian orang kepada isu-isu yang diabaikan sebelumnya, untuk mengambil hati orang melalui sandiwara politik.” Taktik ini mungkin bisa mencapai tujuan konkrit yang terbatas, seperti “memperlambat konstruksi sebuah jalan tol”; namun untuk mencapai tujuan yang lebih jauh, aksi itu harus menjadi satu bagian dari sebuah kampanye lebih luas sifatnya yang melawan kaum penguasa.

Para aktivis Reclaim the Streets “mungkin bisa melakukan sebuah serangan yang efektif pada kapitalisme global seandainya mereka mengidentifikasikan sebuah alternatif yang berarti. Namun karena kurangnya usulan untuk perubahan politik, aksi-aksi protes mereka … menjadi malapetaka.” Gerakan sampai terombang-ambing di antara sejumlah isu yang besar dan rumit, sambil meniru bahasa dan tingkah laku kaum revolusioner tapi tanpa program yang revolusioner. Lagipula:

Persoalan ini menjadi lebih rumit lagi karena mitos konsensus. Gerakan direct action (aksi langsung) itu ngotot mengaku non-hierarkis, padahal tidak pernah bersifat begitu. Beberapa orang tak urung bekerja lebih keras daripada yang lain dan menjalankan kegiatan tertentu, tidak peduli apakah semua orang setuju … Tapi dengan meyakinkan diri sendiri bahwa tidak ada hierarki, bahwa aksi-aski mereka merupakan spontanitas belaka, para pelaku mengelak pertanggunjawaban.

Menurut George Monbiot, sikap yang tidak bertanggungjawab ini membuka jalan bagi tidakan anarkis.

Monbiot memang benar dalam beberapa hal. Demonstrasi dan blokade tanpa kekerasan adalah aksi simbolis yang sangat penting untuk memfokuskan dan mengutarakan aspirasi rakyat, tapi kegiatan ini memang hanya simbolis saja. Namun demikian pula dengan aksi kekerasan oleh kelompok kecil, walau tampaknya lebih serius. Karena semua kegiatan ini tidak mampu menghentikan operasi sistem kapitalis, mereka tidak sanggup menyelesaikan proses penghisapkan dan peredaran nilai lebih serta akibat-akibat mengerikan yang menyertainya. Sebuah dunia kerja teralienasi tidak dapat diselesaikan dengan menghancurkan jendela-jendela toko ataupun dengan duduk di jalanan secara pasif.

Namun George Monbiot cs tidak menganjurkan jalan alternatif yang meyakinkan. Monbiot sendiri menunjuk ke pemilihan untuk pemerintah-pemerintah lokal, sedangkan Medea Benjamin berargumentasi bahwa sejumlah kampanye yang “positif, inklusif serta demokratik” telah berhasil “memaksa beberapa perusahaan besar merubah kebijakan mereka yang paling kejam”. Namun mendapatkan sejumlah kursi di DPRD atau merubah sepak-terjang kaum majikan di beberapa tempat tidak berarti kita menghentikan ataupun memperlambat dinamika sistem kapitalis internasional. Dan sebenarnya hal ini sudah diakui oleh kedua tokoh tersebut. Monbiot mendukung berbagai aksi “direct action”, sedangkan Benjamin berperan sangat positif dalam menyelenggarakan demonstrasi di depan kongres nasional Partai Demokratik di Amerika. Tidak ada cara non-kekerasan yang simplistik untuk menghadapi sistem global kapitalis.

Kita bisa banyak belajar dari nasib gerakan-gerakan yang muncul pada tahun 1970-an lantas merosot di tahun 1980-an. Di satu pihak, banyak aktivis menempuh jalan parlementer, dengan mengembar-gemborkan partai partai baru yang anti-nuklir dan pro-lingkungan, yang diharapkan bisa mentransformasikan kancah politik. 15 tahun kemudian partai-partai itu sudah ikut memerintah di Jerman, Perancis dan Italia. Mereka mendukung serangan imperialis di Serbia sambil mempertahankan fasilitas tentaga nuklir. Di pihak lain, ada kelompok-kelompok tertentu yang menolak jalan parlementer dan menganut politik “otonomis”, dengan hidup di daerah-daerah kantong; secara berkala mereka mengenakan topeng, turun ke jalan dan melempari polisi dengan bom asap bahkan bom bensin. Para polisi membalas dengan gas air mata dan meriam air. Berita-berita di TV menjadi tontonan yang hebat. Hasilnya? Kelompok-kelompok “otonomis” menjadi semakin kecil, kelompok-kelompok yang bergerak di parlemen menjadi semakin moderat, aparat keamanan menjadi semakin kuat. Kedua pendekatan ini (parlementaris serta “otonomis”) gagal karena menonjolkan sebuah kelemahan bersama. Mereka tidak tahu kekuatan mana yang betul-betul mampu melawan sistem kapitalis dengan efektif.

Kita harus menggabungkan enerji dan idealisme para minoritas anti-kapitalis yang turun ke jalan baru-baru ini dengan perjuangan massa yang juga sedang terjadi di mana-mana. Untuk itu, aksi kekerasan oleh grup-grup kecil tidak efektif, bahkan memberikan peluang bagi aparat untuk menghantam kita. Kadang-kadang mobilisasi non-kekerasan oleh sebuah gerakan besar yang berdisiplin bisa mengekspos ciri-ciri kekerasan yang menyifati sistem kapitalis. Namun itu tidak berarti, sistem ini dapat dikalahkan oleh aksi non-kekerasan saja. Berkali-kali dalam sejarah, sistem kapitalis telah membantai gerakan oposisi yang bersikap non-kekerasan, misalnya tragedi di Indonesia pada tahun 1965, peristiwa yang mengerikan di Chile pada tahun 1973 dan pembantaian di Beijing pada tahun 1989. Untuk mengatasi kekerasan kapitalis ini kita tidak bisa mengandalkan aksi ultrakiri oleh grup kecil maupun prinsip non-kekerasan pasifis. Kita harus membangun gerakan-gerakan massa yang bersedia melakukan perjuangan bersenjata kalau perlu. Seperti ditulis oleh Bronterre O’Brien, tokoh Cartis di Inggeris masa lampau: “Kaum kaya sudah dari dahulu kala bersifat kejam … Melawan musuh semacam itu, menggelikan kita membicarakan kekuatan moral (moral force) … Hanya ketakutan besar pada sebuah kekuatan yang besar akan memaksa mereka kembali bersifat manusiawi.”

Masalah organisasi

Dalam setiap gerakan yang baru muncul, salah satu sifat yang paling mengesankan adalah cara-cara orang mengambil prakarsa secara spontan, menyelenggarakan aksi imajinatif serta menonjolkan kreativitas yang luar biasa. Semua enerji mental yang sebelumnya diboroskan dalam bermacam-marcam hiburan sepele, tiba-tiba diarahkan untuk membangun gerakan tersebut. Menyimak fenomena ini para pengamat sering berkesimpulan, gerakan itu sudah mengatasi semua masalah organisasi yang dulu menjadi perhatian para aktivis. Sehingga sama sekali tidak mengherankan bila seorang Naomi Klein beranggapan, gerakan anti-kapitalis yang turun ke jalan di Seattle and Washington telah melampaui semua bentuk-bentuk organisasi lama:

Gerakan protest anti-konglomerat yang menarik perhatian dunia di jalan-jalan Seattle pada bulan November lalu, tidak disatukan oleh sebuah partai politik atau jaringan nasional yang memiliki markas besar di kota tertentu; tidak diselenggarakan oleh pemilihan tahunan serta sel-sel dan cabang-cabang di basis. Gerakan ini berdasarkan ide-ide beberapa aktivis dan intelektual tertentu tetapi tidak tunduk dibawah orang ini sebagai pimpinan. Ketika para aktivis gerakan berkumpul, mereka menyerupai ratusan bahkan ribuan jari roda. Fakta bahwa kampanye-kampanye tidak tersentralisasi bukanlah sumber kekacauan dan fragmentasi, melainkan sebuah upaya penyesuaian yang sangat masuk akal, baik terhadap keretakan-keretakan yang sudah ada dalam jaringan-jaringan progresif, maupun perubahan dalam budaya massa secara lebih luas. Salah satu kelebihan besar model organisasi yang “leluasa” ini adalah: gerakan menjadi sulit terkontrol, karena berdasarkan prinsip-prinsip organisasi yang begitu berbeda dengan prinsip lembaga-lembaga dan perusahaan-perusahaan yang menjadi sasaran. Kepada hirarki kapitalis yang mengkonsentrasikan wibawa dan kekuatan, gerakan ini menghadapkan grup-grup dan aksi-aksi yang simpang-siur. Globalisasi dihadapi denganh semacam lokalisasi khas kita. Konsolidasi kekuatan dibalas dengan penyebaran kekuatan secara radikal.

Dia mengutip Joshua Karliner dari LSM Transational Resources and Action Centre yang melukiskan cara-cara organisasi tersebut sebagai “respon tak sengaja yang brilyan terhadap globalisasi”, dan Maude Barlow dari dewan Council of Canadians yang mengatakan: “Kita sedang menghadapi sebuah batu raksasa, yang tidak bisa dihilangkan, jadi kita berusaha melampauinya dengan mengeriap di bawah, di atas dan disekeliling batu tersebut.” Gerakan tak tersentralisasi itu juga dikira menyerupai sekawanan lebah (swarm) yang mampu bergabung secara mendadak guna menggangu lembaga-lembaga globalisasi:

Ketika para pengritik mengatakan, para pengunjuk rasa kekurangan visi, maksud mereka adalah, kita tidak memiliki sebuah ideologi lengkap secara menyeluruh — seperti Marxisme, sosialisme demokratik, ekologisme ekstrim atau anarkisme sosial — yang disetujui oleh semua peserta. Hal itu sangat benar, dan patut disyukuri. Gerakan muda ini patut dihargai karena sampai sekarang masih menangkis semua agenda itu dan menolak segala manifesto yang mau dianugerahi oleh berbagai pihak. Mungkin yang menjadi tugas utama bukanlah mencari visi melainkan melawan keinginan untuk merumuskan visi itu dengan terlalu cepat.

Namun dalam artikel yang sama Naomi Klein mengakui bahwa cara organisasi yang “mengeriap” itu menonjolkan berbagai kelemahan:

Betul, sistem berkepala lipat ini ada kelemahannya pula; dan kelemahan itu dapat disaksikan di jalan-jalan Washington selama aksi anti IMF/Bank Dunia. Menjelang tengah hari pada tanggal 16 April, saat aksi terbesar dijadwalkan, dewan jurubicara (spokescouncil) yang mewaliki semua grup aktivis (affinity groups) bertemu. Pertemuan itu diselenggarakan sewaktu grup aktivis tersebut sedang memblokir jalan-jalan disekitar markas Bank Dunia dan IMF. Perempatan-perempatan sudah diblokir sejak jam 6 pagi, tetapi para pendemo dikabari bahwa para peserta konferensi IMF berhasil masuk sebelumnya, pada jam 5. Sehingga para jurubicara kebanyakan berkesimpulan, lebih baik meninggalkan perempatan-perempatan itu dan ikut pawai [di tempat lain] … Soalnya, tidak semua sepakat. Segelintar jurubicara dari grup tertentu mau tetap di situ dan berusaha memblokir para peserta saat mereka mau keluar gedung.

Dewan jurubicara mencari sebuah kompromi, yang implikasinya agak ironis. “Dengerin!” teriak Kevin Danaher via megafon. “Setiap perempatan punya otonomi sendiri. Mau blokir terus, ya oke, boleh. Mau ikut pawai … juga boleh. Terserah.”

Sebuah keputusan yang luar biasa fair dan demokratik — cuma soalnya, tidak nalar sama sekali! Taktik memblokir tempat-tempat masuk merupakan sebuah aksi terkoordinasi. Kalau sekarang beberapa perempatan ditinggalkan, sedangkan perempatan lain tetap diblokir oleh unsur-unsur pemberontak, itu berarti para peserta konferensi hanya perlu belok kiri bukan kanan dan sudah luput. Dan itu memang terjadi.

Melihat sejumlah kelompok aktivis bangkit dan pergi, sedangkan yang lain tetap duduk di jalanan secara menantang … tapi tanpa memblokir apa-apa … melihat itu saya merasa cerita ini bisa menjadi kiasan bagi semua kelebihan dan kelemahan jaringan aktivis baru kita.

Gerakan kita memiliki baik kelebihannya maupun kelemahannya, maka kita harus membicarakan bagaimana kelemahan itu dapat diselesaikan. Kalau tidak diselesaikan, mereka akan berkembang menjadi halangan besar, dan itu akan memungkinkan musuh untuk menghancurkan gerakan tersebut. Pelajaran dari aksi di Washington dan juga dari aksi di London adalah, tidak memadai setiap grup bertindak semaunya. Kita harus menggunakan cara-cara demokrasi untuk mengambil keputusan, yang kemudian diselenggarakan oleh semua orang yang terlibat. Kalau tidak, sembarang kelompok minoritas bisa saja melakukan tindakan yang akibatnya parah untuk mayoritas.

Jaringan-jaringan longgar yang digemari para LSM bukanlah hal yang baru. Cara-cara yang sama digunakan oleh para aktivis radikal pada akhir abad XVIII, melalui jaringan surat-menyurat di Inggeris atau club-club Jacobin di tahap-tahap awal Revolusi Perancis, dengan memakai surat karena belum ada e-mail. Namun saat mereka ingin beralih dari propaganda dan agitasi yang tercabik-cabik ke perjuangan serius untuk menantang kaum penguasa, mereka harus menggunakan bentuk-bentuk organisasi yang lebih tersentralisasi; contohnya gerakan Jacobin antara 1792 dan 1794, kaum Irlandia Bersatu, atau Konspirasi Kaum Sederajat yang dipimpin oleh Babeuf. Ini harus dilakukan karena jaringan longgar tidak memungkinkan pengambilan keputusan secara bersatu di saat mereka mau mengerahkan para pendukung untuk aksi revolusioner, malah membiarkan unsur-unsur minoritas merusak aksi itu dengan bergerak terlalu cepat ataupun dengan menjauhkan diri ketika semua kawan lain mau bertindak.

Lembaga-lembaga kapitalisme global bisa saja dilukiskan sebagai “batu besar” yang sulit dihancurkan. Namun kalau kita hanya mau melampaui batu itu secara “mengeriap”, batu tersebut akan tetap ada dan bisa digunakan oleh kaum penguasa untuk menghantam kita. Dan mereka memang menghancurkan ribuan orang setiap hari dengan Letter of Intent, pengrusakan lingkungan alam, penggusuran dan lain sebagainya. Di hadapan hal-hal yang mengerikan ini, tidaklah cukup kita bertindak bak “sekawanan lebah”.

Juda tidak cukup mengatakan, gerakan kita memiliki banyak ide yang bagus. Memang banyak sekali ide yang lahir dalam gerakan tersebut. Ratusan ribu, mungkin jutaan orang sudah mulai menantang sistem kapitalisme global. Latarbelakang dan pengalaman mereka bermacam-macam, sehingga pikiran-pikiran mereka bermacam-macam pula. Siapa pun tidak boleh mendikte mereka. Namun itu justeru berarti timbulnya perdebatan yang berbobot, dan kita semua harus ikut berdebat. Tidak memadai pula kalau kita mensyukuri perselisihan itu saja, dengan mengatakan: “Alangkah bagusnya, kita sedang berdebat dan pendapatnya beraneka-ragam.” Sebaliknya, gerakan kita tidak bisa berkembang secara sehat sebelum perdebatan-perdebatan ini diselesaikan. Jika kita beranggapan, bahwa “sosialisme demokratik” atau “anarkisme sosial” terbukti salah di masa lampau, hal itu harus kita utarakan.

Soal ini lebih penting lagi jika angkatan aktivis baru ingin bergabung dengan jutaan pekerja dan rakyat tertindas lainnya yang setiap hari terlibat dalam perlawanan terhadap neoliberalisme dan kapitalisme global. Dalam perjuangan ini, rakyat sering menaruh pekerjaan, standar hidup bahkan jiwa mereka. Sangat penting kita membantu mereka dalam mencari garis perjuangan yang tepat, strategi untuk mendapatkan dukungan dari rakyat tertindas lainnya, taktik untuk menangkis serangan musuh. Sehingga klarifikasi politik amat penting pula, bahkan menjadi sebuah keharusan untuk menghindari kekalahan yang parah.

Para pimpinan perusahaan raksasa multinasional dan negara-negara imperialis agak khawatir menyaksikan peristiwa di Seattle dan aksi-aksi yang menyusul. Gerakan kita sudah menjadi inspirasi dan fokus politik bagi jutaan manusia yang ingin melawan eksploitasi dan penindasan. Di dalam gerakan itu, hanya sebuah minoritas yang mengaku sebagai Marxis ataupun sosialis. Namun dalam membangun sebuah gerakan baru dewasa ini, mereka memasuki jalan yang ditempuh oleh Marx dan Engels hampir 160 tahun yang lalu. Bukankah semboyan tempur Marxis “Kaum proletar sedunia bersatulah!” mengucapkan inti dari perjuangan melawan kapitalisme global modern?

Istilah Dalam Hubungan Internasional

  • Balance Of Power
    As a theory, balance of power predicts that rapid changes in international power and status—especially attempts by one state to conquer a region—will provoke counterbalancing actions. For this reason, the balancing process helps to maintain the stability of relations between states. A balance of power system functions most effectively when alliances are fluid, when they are easily formed or broken on the basis of expediency, regardless of values, religion, history, or form of government. Occasionally a single state plays a balancer role, shifting its support to oppose whatever state or alliance is strongest. A weakness of the balance of power concept is the difficulty of measuring power.
  • Behavioralism
    An approach to the study of politics or other social phenomena that focuses on the actions and interactions among units by using scientific methods of observation to include quantification of variables whenever possible. A practitioner of behavioralism is often referred to as a behavioralist. Behaviorism refers to the ideas held by those behavioral scientists who consider only observed behavior as relevant to the scientific enterprise and who reject what they consider to be metaphysical notions of “mind” or “consciousness
  • Collective Defence
    Though the term existed before 1949, a common understanding of collective defence with regards to NATO can be found in Article V of the North Atlantic Treaty: ‘The Parties agree that an armed attack against one or more of them… shall be considered an attack against them all; and consequently they agree that, if such an armed attack occurs, each of them in exercise of the right of individual or collective self-defence recognised by Article 51 of the Charter of the United Nations, will assist the Party or Parties so attacked by taking forthwith, individually and in concert with the other Parties, such action as it deems necessary, including the use of armed force, to restore and maintain the security of the North Atlantic area’ (NATO Handbook: 232). In the context of NATO, then, collective defence is based on countering traditional challenges as understood by the realist/neorealist paradigm, specifically to territory, and finds its focus on an identifiable external threat or adversary.
  • Collective Security
    Employed during the construction of the League of Nations, the concept of collective security goes beyond the pure idea of defence to include, according to Inis Claude, ‘arrangements for facilitating peaceful settlement of disputes,’ assuming that the mechanisms of preventing war and defending states under armed attack will ‘supplement and reinforce each other’ (1984:245). Writing during the Cold War, Claude identifies the concept as the post-WWI name given by the international community to the ‘system for maintenance of international peace… intended as a replacement for the system commonly known as the balance-of-power’ (1984:247). Most applicable to widely inclusive international organizations such as the League and the United Nations, ideally, the arrangement would transcend the reliance on deterrence of competing alliances through a network or scheme of ‘national commitments and international mechanisms.’ As in collective defence, collective security is based on the risk of retribution, but it can also involve economic and diplomatic responses, in addition to military retribution. From this, it is theorized that perfected collective security would discourage potential aggressors from angering a collectivity of states. Like balance-of-power, collective security works on the assumption that any potential aggressor would be deterred by the prospect of joint retaliation, but it goes beyond the military realm to include a wider array of security problems. It assumes that states will relinquish sovereignty and freedom of action or inaction to increasing interdependence and the premise of the indivisibility of peace. The security that can be derived from this is part of the foundation of the neoliberal institutionalist argument.
  • Complex Interdependence Theory
    The term ‘complex interdependence’ was developed by Robert Keohane and Joseph Nye and refers to the various, complex transnational connections (interdependencies) between states and societies. Interdependence theorists noted that such relations, particularly economic ones, were increasing; while the use of military force and power balancing were decreasing (but remained important). Reflecting on these developments, they argued that the decline of military force as a policy tool and the increase in economic and other forms of interdependence should increase the probability of cooperation among states. The complex interdependence framework can be seen as an attempt to synthesise elements of realist and liberal thought. Finally, anticipating problems of cheating and relative gains raised by realists, interdependence theorists introduced the concept of ‘regimes’ to mitigate anarchy and facilitate cooperation. Here, we can see an obvious connection to neo-liberal institutionalism.
  • Constitutive Theory
    Constitutive theory is directly concerned with the importance of human reflection on the nature and character of world politics and the approach to its study. Reflections on the process of theorizing, including epistemological and ontological issues and questions, are typical. Constitutive theory is distinguished from explanatory or empirical theory (see below) and may be described as the philosophy of world politics or international relations.
  • Cosmopolitanism
    The word ‘cosmopolitan’, which derives from the Greek word kosmopolitês (‘citizen of the world’), has been used to describe a wide variety of important views in moral and socio-political philosophy. The nebulous core shared by all cosmopolitan views is the idea that all human beings, regardless of their political affiliation, do (or at least can) belong to a single community, and that this community should be cultivated. Different versions of cosmopolitanism envision this community in different ways, some focusing on political institutions, others on moral norms or relationships, and still others focusing on shared markets or forms of cultural expression. The philosophical interest in cosmopolitanism lies in its challenge to commonly recognized attachments to fellow-citizens, the local state, parochially shared cultures, and the like.
  • Critical Social Theory
    Not really a theory, but an approach or methodology which seeks to take a critical stance towards itself by recognising its own presuppositions and role in the world; and secondly, towards the social reality that it investigates by providing grounds for the justification and criticism of the institutions, practices and mentalities that make up that reality. Critical social theory therefore attempts to bridge the divides in social thought between explanation and justification, philosophical and substantive concerns, pure and applied theory, and contemporary and earlier thinking.
  • Defensive Realism
    Defensive realism is an umbrella term for several theories of international politics and foreign policy that build upon Robert Jervis’s writings on the security dilemma and to a lesser extent upon Kenneth Waltz’s balance-of-power theory (neorealism). Defensive realism holds that the international system provides incentives for expansion only under certain conditions. Anarchy (the absence of a universal sovereign or worldwide government) creates situations where by the tools that one state uses to increase it security decreases the security of other states. This security dilemma causes states to worry about one another’s future intentions and relative power. Pairs of states may pursue purely security seeking strategies, but inadvertently generate spirals of mutual hostility or conflict. States often, although not always, pursue expansionist policies because their leaders mistakenly believe that aggression is the only way to make their state secure. Defensive realism predicts great variation in internationally driven expansion and suggests that states ought to generally pursue moderate strategies as the best route to security. Under most circumstances, the stronger states in the international system should pursue military, diplomatic, and foreign economic policies that communicate restraint. Examples of defensive realism include: offense-defense theory (Jervis, Stephen Van Evera, Sean Lynn-Jones, and Charles Glaser), balance-of-power theory (Barry Posen, Michael Mastanduno), balance-of-threat theory (Stephen Walt), domestic mobilization theories (Jack Snyder, Thomas Christensen, and Aron Friedberg), and security dilemma theory (Thomas Christensen, Robert Ross, and William Rose).
  • Democratic Peace
    All democratic peace theories seek to explain the disputed empirical fact that two constitutional democracies have never gone to war with each other in recent history (1816 onwards). As such, they rest on a similar hypothesis: that relations between pairings of democratic states are inherently more peaceful than relations between other regime-type pairings (i.e. democratic versus non-democratic or non-democratic versus non-democratic). To prove the reality of the democratic peace, theorists such as Michael Doyle have sought to show a causal relationship between the independent variable – ‘democratic political structures at the unit level’ – and the dependant variable – ‘the asserted absence of war between democratic states’. Critics, such as Ido Oren, dispute the claims of democratic peace theorists by insisting that there is a liberal bias in the interpretation of ‘democracy’ which weakens the evidence.
  • Dependency Theory
    Dependency theorists assert that so-called ‘third-world’ countries were not always ‘poor’, but became impoverished through colonial domination and forced incorporation into the world economy by expansionist ‘first-world’ powers. Thus, ‘third-world’ economies became geared more toward the needs of their ‘first-world’ colonial masters than the domestic needs of their own societies. Proponents of dependency theory contend that relationships of dependency have continued long after formal colonization ended. Thus, the primary obstacles to autonomous development are seen as external rather than internal, and so ‘third-world’ countries face a global economy dominated by rich industrial countries. Because ‘first-world’ countries never had to contend with colonialism or a world full of richer, more powerful competitors, dependency theorists argue that it is unfair to compare contemporary ‘third-world’ societies with those of the ‘first-world’ in the early stages of development.
  • Deterrence Theory
    Deterrence is commonly thought about in terms of convincing opponents that a particular action would elicit a response resulting in unacceptable damage that would outweigh any likely benefit. Rather than a simple cost/benefits calculation, however, deterrence is more usefully thought of in terms of a dynamic process with provisions for continuous feedback. The process initially involves determining who shall attempt to deter whom from doing what, and by what means. Several important assumptions underlie most thinking about deterrence. Practitioners tend to assume, for example, that states are unitary actors, and logical according to Western concepts of rationality. Deterrence also assumes that we can adequately understand the calculations of an opponent. One of the most important assumptions during the Cold War was that nuclear weapons were the most effective deterrent to war between the states of the East and the West. This assumption, carried into the post-Cold War era, however, may promote nuclear proliferation. Indeed, some authors suggest that the spread of nuclear weapons would deter more states from going to war against one another. The weapons would, it is argued, provide weaker states with more security against attacks by stronger neighbors. Of course, this view is also predicated on the assumption that every state actor’s rationality will work against the use of such weapons, and that nuclear arms races will therefore not end in nuclear warfare.
  • Empirical Theory
    An empirical theory in the social or natural sciences relates to facts and provides an explanation or prediction for observed phenomena. Hypotheses associated with empirical theories are subject to test against real-world data or facts. The theorist need not have any purpose in developing such empirical theories other than satisfying his or her intellectual curiosity, although many will seek to make their work “policy relevant”
  • Evolutionary World Politics
    A sub-field of the study of International Relations that poses the question: what explains structural change in world politics, in the past millennium in particular? It rests on two core premises: that political change at the global level is the product of evolutionary processes, and that such processes might be best understood through the application of evolutionary concepts such as selection or learning, without yet embracing biological determinism. Focussing on longer-term, institutional, change it contrasts with, and complements, rational choice approaches that illuminate shorter-term, ends-means decision-making. Components of it might be recognized both in the realist, and the liberal schools of international relations. Structural change may be studied at three levels: at the actor level, by looking at long cycles of global politics; at the level of global political formation, by inquiring into world empire, the nation-state system with global leadership, and global organization, as alternative forms of coping with global problems; and at the of human species evolution, by asking about the emergence of basic world institutions. Global political change co-evolves with cognate processes in the world economy, and is nested in the longer-term developments in democratization, and changes in world opinion.
  • Feminism
    A branch of Critical Social Theory (see above) that seeks to explore how we think, or do not think, or avoid thinking about gender in international relations (IR). Feminists argue that traditional IR thinking has avoided thinking of men and women in the capacity of embodied and socially constituted subject categories by subsuming them in other categories (e.g. statesmen, soldiers, refugees), too readily accepting that women are located inside the typically separate sphere of domestic life, and retreating to abstractions (i.e. the state) that mask a masculine identity. Gender-minded analysts therefore seek to move from suspicion of officially ungendered IR texts to their subversion and to replacement theories. Some recent gender-attentive research streams include: critique and reappropriation of stories told about the proper scope of the field of IR; revisions of war and peace narratives; reevaluations of women and development in the international system and its parts; feminist interpretations of human rights; and feminist understandings of international political economy and globalisation.
  • Fourth World Theory
    A theoretical framework, based on the distinction between nations and states, examining how colonial empires and modern states invaded and now encapsulate most of the world’s enduring peoples. The term Fourth World refers to nations forcefully incorporated into states which maintain a distinct political culture but are internationally unrecognized (Griggs, R. 1992. ‘The Meaning of ‘Nation’ and ‘State’ in the Fourth World’, Center for World Indigenous Studies). Fourth World analyses, writings and maps aim to rectify the distorting and obscuring of indigenous nations’ identities, georgraphies and histories and expose the usually hidden ‘other side’ of invasions and occupations that generate most of the world’s wars, refugees, genocide, human rights violations and environmental destruction. The distinction between political terms such as nation, state, nation-state, a people and ethnic group – which are commonly used interchangeably in both popular and academic literature despite the fact that each has a unique connotation – provides a geopolitcal perspective from which one can paint a ‘ground-up’ portrait of the significance and centrality of people in most world issues, problems and solutions. Fourth World Theory was fashioned by a diverse assortment of people, including activists, human rights lawyers, academics and leaders of indigenous nations. Similar to World Systems Analysis (see below) scholars, proponents of Fourth World Theory seek to change the world, not just describe or explain it.
  • Frustration-Aggression Theory
    A theory that argues that collective behavior is an aggressive response to feelings of frustration.
  • Functionalism
    A focus on purposes or tasks, particularly those performed by organisations. Some theorists have explained the growth of organisations, particularly international organisations, as a response to an increase in the number of purposes or tasks demanding attention. Neofunctionalism as a theory of regional integration emphasizes the political calculation and pay-off to elites who agree to collaborate in the performance of certain tasks
  • Game Theory
    A decision-making approach based on the assumption of actor rationality in a situation of competition. Each actor tries to maximize gains or minimize losses under conditions of uncertainty and incomplete information, which requires each actor to rank order preferences, estimate probabilities, and try to discern what the other actor is going to do. In a two-person zero-sum game, what one actor wins the other loses; if A wins, 5, B loses 5, and the sum is zero. In a two-person non-zero or variable sum game, gains and losses are not necessarily equal; it is possible that both sides may gain. This is sometimes referred to as a positive-sum game. In some games, both parties can lose, and by different amounts or to a different degree. So-called n-person games include more than two actors or sides. Game theory has contributed to the development of models of deterrence and arms race spirals, but it is also the basis for work concerning the question of how collaboration among competitive states in an anarchic world can be achieved: The central problem is that the rational decision for an individual actor such as a state may be to “defect” and go it alone as opposed to taking a chance on collaboration with another state actor. Dealing with this problem is a central concern of much of the literature on international regimes, regional integration, and conflict resolution
  • Globalisation
    Globalisation, as a theory, argues that states and societies are increasingly being ‘disciplined’ to behave as if they were private markets operating in a global territory. ‘Disciplinary’ forces affecting states and societies are attributed to the global capital market, transnational corporations (TNCs), and structural adjustment policies of the International Monetary Fund (IMF) and World Bank, which are all driven by neo-liberal economic ideology. Some scholars, such as Stephen Gill, see these agents as representing an emerging system of global economic governance (‘disciplinary neo-liberalism’) based on a quasiconstitutional framework for the reconstitution of the legal rights, prerogatives, and freedom of movement for capital on a world scale (‘new constitutionalism’).
  • Globalism
    An image of politics different from realism and pluralism. Globalism focuses on the importance of economy, especially capitalist relations of dominance or exploitation, to understanding world politics. The globalist image is influenced by Marxist analyses of exploitative relations, although not all globalists are Marxists. Dependency theory, whether understood in Marxist or non-Marxist terms, is categorised here as part of the globalist image. Also included is the view that international relations are best understood if one sees them as occurring within a world-capitalist system
  • Golden Arches Theory of Conflict Prevention
    Thomas Friedman’s theory that no two countries that both had McDonald’s had fought a war against each other since each got its McDonald’s. More specifically, Friedman articulates it thus: ‘when a country reached the level of economic development where it had a middle class big enough to support a McDonald’s network, it became a McDonald’s country. And people in McDonald’s countries didn’t like to fight wars anymore, they preferred to wait in line for burgers’.
  • Hegemonic Stability Theory
    The central idea of this theory is that the stability of the international system requires a single dominant state to articulate and enforce the rules of interaction among the most important members of the system. For a state to be a hegemon, it must have three attributes: the capability to enforce the rules of the system, the will to do so, and a commitment to a system which is perceived as mutually beneficial to the major states. A hegemon’s capability rests upon the likes of a large, growing economy, dominance in a leading technological or economic sector, and political power backed up by projective military power. An unstable system will result if economic, technological, and other changes erode the international hierarchy and undermine the position of the dominant state. Pretenders to hegemonic control will emerge if the benefits of the system are viewed as unacceptably unfair.
  • Idealism
    Idealism is so widely defined that only certain basic tenets can be described. Idealists believe strongly in the affective power of ideas, in that it is possible to base a political system primarily on morality, and that the baser and more selfish impulses of humans can be muted in order to build national and international norms of behavior that foment peace, prosperity, cooperation, and justice. Idealism then is not only heavily reformist, but the tradition has often attracted those who feel that idealistic principles are the “next-step” in the evolution of the human character. One of the first and foremost pieces of the “old world” and “old thinking” to be tossed on the trash heap of history by idealism is that destructive human institution of war. War, in the idealistic view, is now no longer considered by either elites or the populace of the great powers as being a plausible way of achieving goals, as the costs of war, even for the victor, exceed the benefits. As John Mueller says in his book Quiet Cataclysm, war is passing into that consciousness stage where slavery and dueling reside – it can fade away without any adverse effect, and with no need for replacement.
  • Imperialism
    Hans J. Morgenthau defines imperialism as a national foreign policy aimed at acquiring more power than the state actually has, through a reversal of existing power relations, in other words, a favorable change in power status. Imperialism as a national foreign policy is in contrast to ‘status quo’ foreign policy and a foreign policy of ‘prestige.’ The policy of imperialism assumes the classical realist theory perspective of analysis at the unit level in international relations. Furthermore, imperialism is based on a ‘balance-of-power’ construct in international relations. The three types of imperialism as outlined by Morgenthau are: Marxist theory of imperialism which rests on the foundation that all political phenomena are the reflection of economic forces; the Liberal theory of imperialism which results because of maladjustments in the global capitalist system (e.g., surplus of goods and capital which seek outlets in foreign markets); and finally, the ‘devil’ theory of imperialism which posits that manufacturers and bankers plan wars in order to enrich themselves.
  • Intergovernmentalism
    In its most basic form, intergovernmentalism explains interstate cooperation and especially regional integration (e.g. EU) as a function of the alignment of state interests and preferences coupled with power. That is, contrary to the expectations of functionalism and neofunctionalism, integration and cooperation are actually caused by rational self-interested states bargaining with one another. Moreover, as would be expected, those states with more ‘power’ likely will have more of their interests fulfilled. For example, with regard to the EU, it is not surprising, according to proponents of this theory, that many of the agreed-upon institutional arrangements are in line with the preferences of France and Germany, the so-called ‘Franco-German core.’ Andrew Moravcsik is probably the most well-known proponent of intergovernmentalism right now.
  • International Political Economy
    A method of analysis concerning the social, political and economic arrangements affecting the global systems of production, exchange and distribution, and the mix of values reflected therein (Strange, S. 1988. States and Markets. Pinter Publishers, London. p18). As an analytical method, political economy is based on the assumption that what occurs in the economy reflects, and affects, social power relations.
  • International Regime Theory
    A perspective that focuses on cooperation among actors in a given area of international relations. An international regime is viewed as a set of implicit and explicit principles, norms, rules, and procedures around which actors’ expectations converge in a particular issue-area. An issue-area comprises interactions in such diverse areas as nuclear nonproliferation, telecommunications, human rights, or environmental problems. A basic idea behind international regimes is that they provide for transparent state behaviour and a degree of stability under conditions of anarchy in the international system. International regime analysis has been offering a meeting ground for debate between the various schools of thought in IR theory.
  • Just War Theory
    Normative theory referring to conditions under which (1) states rightfully go to war (jus ad bellum) with just cause, as in self-defense in response to aggression, when the decision to go to war is made by legitimate authority in the state, as a last resort after exhausting peaceful remedies, and with some reasonable hope of achieving legitimate objectives; (2) states exercise right conduct in war (jus in bello) when the means employed are proportional to the ends sought, when noncombatants are spared, when weapons or other means that are immoral in themselves are not used (typically those that are indiscriminate or cause needless suffering), and when actions are taken with a right intention to accomplish legitimate military objectives and to minimize collateral death and destruction. Many of these principles of just war are part of the body of international law and thus are legally binding on states and their agents
  • Legal Positivism
    A legal theory that identifies international law with positive acts of state consent. Herein, states are the only official ‘subjects’ or ‘persons’ of international law because they have the capacity to enter into legal relations and to have legal rights and duties. Indeed, they are the only entities with full, original and universal legal personality; the only proper actors bound by international law. As far as non-state entities (such as individuals, corporations, and international organisations) are concerned, their ability to assert legal personality is only derivative of and conditional upon state personality and state consent. This predominant ideology originated in the nineteenth century when legal positivism took the eighteenth century law of nations, a law common to individuals and states, and transformed it into public and private international law, with the former being deemed to apply to states and the latter to individuals. Thus, only states enjoy full international legal personality, which can be defined as the capacity to bring claims arising from the violation of international law, to conclude valid international agreements, and to enjoy priveleges and immunities from national jurisdiction
  • Liberalism (Liberal Internationalism)
    A political theory founded on the natural goodness of humans and the autonomy of the individual. It favours civil and political liberties, government by law with the consent of the governed, and protection from arbitrary authority. In IR liberalism covers a fairly broad perspective ranging from Wilsonian Idealism through to contemporary neo-liberal theories and the democratic peace thesis. Here states are but one actor in world politics, and even states can cooperate together through institutional mechanisms and bargaining that undermine the propensity to base interests simply in military terms. States are interdependent and other actors such as Transnational Corporations, the IMF and the United Nations play a role.
  • Marxism
    A body of thought inspired by Karl Marx. It emphasises the dialectical unfolding of historical stages, the importance of economic and material forces and class analysis. It predicts that contradictions inherent in each historical epoch eventually lead to the rise of a new dominant class. The era of capitalism, according to Marx, is dominated by the bourgeoisie and will give way to a proletarian, or working class, revolution and an era of socialism in which workers own the means of production and move toward a classless, communist society in which the state, historically a tool of the dominant class, will wither away. A number of contemporary theorists have drawn on Marxian insights and categories of analysis – an influence most evident in work on dependency and the world capitalist system
  • Modernisation Theory
    A theory presuming that all countries had similiar starting points and follow similar paths to ‘development’ along the lines of contemporary ‘first-world’ societies.
  • Neoliberal Institutionalism
    Encompasses those theories which argue that international institutions play an important role in coordinating international cooperation. Proponents begin with the same assumptions used by realists, except for the following: where realists assume that states focus on relative gains and the potential for conflict, neoliberal institutionalists assume that states concentrate on absolute gains and the prospects for cooperation. Neoliberal institutionalists believe that the potential for conflict is overstated by realists and suggest that there are countervailing forces, such as repeated interactions, that propel states toward cooperation. They regard cheating as the greatest threat to cooperation and anarchy as the lack of organisation to enforce rules against cheating. Institutions are described by neoliberals as ‘persistent and connected sets of rules (formal or informal) that prescribe behavioral roles, constrain activity, and shape expectations’
  • Neorealism
    Essentially, a systemic, balance of power theory developed by Kenneth Waltz in which states do not seek to maximise power, but merely balance it. And because the international system is regarded as anarchic and based on self-help, the most powerful units set the scene of action for others as well as themselves. These major powers are referred to as poles; hence the international system (or a regional subsystem), at a particular point in time, may be characterised as unipolar, bipolar or multipolar.
  • New War Theory
    Mary Kaldor’s new war theory argues that contemporary types of warfare are distinct from the classic modern forms of warfare based on nation-states. New wars are part of a globalised war economy underpinned by transnational ethnicities, globalised arms markets and internationalised Western-global interventions. The new type of warfare is a predatory social condition which damages the economies of neighbouring regions as well as the zone of conflict itself, spreading refugees, identity-based politics and illegal trade. It is also characterised by new forms of violence (the systematic murder of ‘others’, forced population expulsion and rendering areas uninhabitable) carried out by new militaries (the decaying remnants of state armies, paramilitary groups, self-defence units, mercenaries and international troops) funded by remittances, diaspora fund-raising, external government assistance and the diversion of international humanitarian aid. Whereas 80 per cent of war victims early last century were military personnel, it is estimated that 80 per cent of victims in contemporary wars are civilians. According to Kaldor, this new form of warfare is a political rather than a military challenge, involving the breakdown of legitimacy and the need for a new cosmopolitan politics to reconstruct affected communities and societies.
  • Normative Theory
    Normative theory deals precisely with values and value preferences. Unlike empirical theory, however, propositions in normative theory are not subject to empirical test as a means of establishing their truth or falsehood. Normative theory deals not with what is, the domain of empirical theory. Rather, normative theory deals explicitly with what ought to be – the way the world should be ordered and the value choices decision makers should make
  • Offensive Realism
    Offensive realism is a covering term for several theories of international politics and foreign policy that give analytical primacy to the hostile and unforgiving nature of the international system as the cause of conflict. Like defensive realism, some variants of offensive realism build upon and depart from Waltz’s neorealism. Offensive realism holds that anarchy (the absence of a worldwide government or universal sovereign) provides strong incentives for expansion. All states strive to maximize their relative power because only the strongest states can guarantee their survival. They pursue expansionist policies when and where the benefits of doing so outweigh the costs. States face the ever-present threat that other states will use force to harm or conquer them. This compels them to improve their relative power positions through arms build-ups, unilateral diplomacy, mercantile (or even autarkic) foreign economic policies, and opportunistic expansion. Ultimately every state in the international system strives to become a regional hegemon – a state that enjoys a preponderance of military, economic, and potential power in its part of the globe. Offensive realists however, disagree over the historical prevalence of hegemonic regional systems and the likely responses of weaker states to would-be regional hegemons (e.g., balancing, buck-passing, or bandwagoning). In particular, there is a sharp disagreement between proponents of the balance-of-power tradition (John Mearsheimer, Eric Labs, Fareed Zakaria, Kier Lieber, and Christopher Layne) and proponents of the security variant of hegemonic stability theory (Robert Gilpin, William Wohlforth, and Stephen Brooks).
  • Parallelism Theory
    Based on a fusion of Weberian and Freudian concepts, Parallelism argues that, at the macro level, states fall into two general categories, paternal and fraternal, and that the struggle between the two types characterizes international relations. In the ancient world, paternal systems were predominant because they were militarily superior, but since the rise of the nation-state, fraternal states have become predominant. The engine of historical change is the revolution-hegemonic war cycle, which brings paternal and fraternal systems into conflict with one another. There are at least four examples of this type of hegemonic conflict occurring in documented history: 1) the rise of Macedonia and Alexander the Great’s war with Persia; 2) the rise of Mongolia and Gheghis Khan’s war of expansion; 3) the French Revolution and the Napoleonic Wars; and 4) Weimar Germany and World War II. There are other types of hegemonic conflicts (e.g., WW I, Seven Years War), but these four represent parallel events. Victory in revolutionary and hegemonic conflict has determined the direction of the world system, towards paternalism or fraternalism.
  • Peripheral Realism
    A foreign policy theory arising from the special perspective of (Latin American) peripheral states and represented by the work of Carlos Escude, for example. This view of international relations regards the international system as having an incipient hierarchical structure based on perceived differences between states: those that give orders, those that obey, and those that rebel. The peripheral approach introduces a different way of understanding the internatonal system: that is, from the unique viewpoint of states that do not impose ‘rules of the game’ and which suffer high costs when they confront them. Thus, the foreign policies of peripheral states are typically framed and implemented in such a way that the national interest is defined in terms of development, confrontation with great powers is avoided, and autonomy is not understood as freedom of action but rather in terms of the costs of using that freedom.
  • Pluralism
    A tradition in international relations that argued that politics, and hence policy, was the product of a myriad of competing interests, hence depriving the state of any independent status. Pluralism can be seen to derive principally from a liberal tradition, rooted in Locke’s ‘Second Treatise of Government’, and to pose an anti-realist vision of the centrality of the state in world politics. Pluralists make four key assumptions about international relations. Primarily, non-state actors are important entities in world politics. Secondly, the State is not looked upon as a unified actor, rather, competition, coalition building, and compromise between various interest groups including multinational enterprises will eventually culminate into a ‘decision’ announced in the name of the state. Thirdly, pluralists challenge the realist assumption of the state as a rational actor, and this derives from the second assumption where the clash of competing interests may not always provide for a rational decision making process. Finally, the fourth assumption revolves around the nature of the international agenda, where it is deemed extensive by the pluralists and includes issues of national security as well as economic, social and environmental issues. Hence, pluralists reject the ‘high politics’ ‘low politics’ divide characteristic of realism. They also contend with the predominance of a physical conception of power inherent in realism.
  • Policy-Relevant Theory
    Policy-relevant theories may have explicit purposes that stem from the value preferences of the theorist, such as reducing the likelihood of war or curbing the arms race. Acting on such theories, of course, is the domain of the policy maker, a task separate from that of the empirical theorist. Theorists who become policy makers may well make choices informed by what theories say will be the likely outcomes of implementing one or another alternative. Their choices may be informed by empirical theory or understanding of world events, but the decisions they make are still based on value preferences
  • Poliheuristic Theory of Foreign Policy Decision Making
    Poliheuristic theory suggests that leaders simplify their choice problems according to a two-stage decision process. During the first stage, the set of possible options and outcomes is reduced by application of a ‘noncompensatory principle’ to eliminate any alternative with an unacceptable return on a critical, typically political, decision dimension (Mintz 1993). Once the choice set has been reduced to alternatives that are acceptable to the decision maker, the process moves to a second stage ‘during which the decision maker can either use a more analytic, expected utility-like strategy or switch to a lexicographic decision strategy.’ (Mintz 1997; Mintz et al. 1997; Mintz and Geva 1997; Mintz and Astorino-Courtois 2001). In setting out a pivotal preliminary stage to expected utility decision making, the poliheuristic theory bridges the gap between research in cognitive psychology (Taber and Steenbergen 1995) and the considerable insights provided by rational analyses of decision making (e.g., Bueno de Mesquita 1981; Bueno de Mesquita and Lalman 1992; Morrow 1997).
  • Postinternationalism
    Unlike many other theories, postinternational theory is organized around the premise that our time is marked by profound and continuous transformations and turbulence. It seeks to account for the dynamics of change and anticipate where they might be leading the world. Its prime focus is on the transformation of three basic parameters: one at the micro level of individuals, another at the micro-macro level where individuals and their collectivities interact, and the third is at the macro level of collectivities and their global structures. The central concept at the micro level involves a skill revolution, whereas at the micro-macro level it involves the pervasiveness of authority crises experienced by all kinds of collectivities; and at the macro level it posits a bifurcation of global structures into the state-centric world of sovereignty-bound actors and the multi-centric world of sovereignty-free actors. This formulation is theoretical in the sense that it anticipates the conditions under which continual turbulence and transformation are likely to sustain world affairs. Examples of transformations at each level include the increasingly manifest readiness of individuals to engage in collective action (micro level), the ‘battle of Seattle’ (micro-macro level), and the pattern – indeed, institutionalization – whereby the NGO and state-centric worlds converge around common interests (macro level).
  • Postmodernism
    A more extreme branch of Critical Social Theory (see above) that can be identified in terms of its critical stance toward (western) modernity and the unambiguous narratives of reason, truth and progress. Whereas the dominant narrative of modernity upholds reason as the foundation of objective truth and the source of progress, postmodernism emphasises the interplay of a plurality of discursive practices, ways of knowing, social identities and possible worlds.
  • Power Transition Theory
    Created by A.F.K. Organski and originally published in his textbook, World Politics (1958), power transition theory today describes international politics as a hierarchy with (1) a “dominant” state, the one with the largest proportion of power resources (population, productivity, and political capacity meaning coherence and stability); (2) “great powers,” a collection of potential rivals to the dominant state and who share in the tasks of maintaining the system and controlling the allocation of power resources; (3) “middle powers” of regional significance similar to the dominant state, but unable to challenge the dominant state or the system structure, and (4) “small powers,” the rest. The principle predictive power of the theory is in the likelihood of war and the stability of alliances. War is most likely, of longest duration, and greatest magnitude, when a challenger to the dominant power enters into approximate parity with the dominant state and is dissatisfied with the existing system. Similarly, alliances are most stable when the parties to the alliance are satisfied with the system structure. There are further nuances to the theory: for instance, the sources of power transition vary in their volitility, population change being the least volatile and political capacity (defined as the ability of the government to control resources internal to the country) the most volatile
  • Prisoner’s Dilemma
    Cooperation is usually analysed in game theory by means of a non-zero-sum game called the “Prisoner’s Dilemma” (Axelrod, 1984). The two players in the game can choose between two moves, either “cooperate” or “defect”. The idea is that each player gains when both cooperate, but if only one of them cooperates, the other one, who defects, will gain more. If both defect, both lose (or gain very little) but not as much as the “cheated” cooperator whose cooperation is not returned. The problem with the prisoner’s dilemma is that if both decision-makers were purely rational, they would never cooperate. Indeed, rational decision-making means that you make the decision which is best for you whatever the other actor chooses. Suppose the other one would defect, then it is rational to defect yourself: you won’t gain anything, but if you do not defect you will be stuck with a loss. Suppose the other one would cooperate, then you will gain anyway, but you will gain more if you do not cooperate, so here too the rational choice is to defect. The problem is that if both actors are rational, both will decide to defect, and none of them will gain anything. However, if both would “irrationally” decide to cooperate, both would gain.
  • Prospect Theory
    Prospect theory is a psychological theory of decision-making under conditions of risk and derives its name from the tenet that the notion of risk involves some prospect of loss. Thus prospect theory posits loss-aversion, rather than risk-aversion (as claimed by rational choice theorists) and takes into account the psychological primacy of relative positioning. The theory states that there are two phases affecting decision-making: 1) framing, where perception or presentation of the situation in which decisions must be made affect the disposition towards some alternatives over others; and 2) evaluation, where the decision-maker assesses gains and losses relative to a movable reference point depending on the perspective of the decision-maker. It helps focus on how utilities are formed rather than how they are maximised. Prospect theory originally was called ‘value theory’ by its founders Kahneman and Tversky in the late 1970s.
  • Rationalism
    A theoretical qualification to the pessimism of realism and the idealism of liberal internationalism. Rationalists view states as comprising an international society, not merely an international system. States come to be a part of an international society by accepting that various principles and institutions govern the way in which they conduct their foreign relations. In doing so, it can be argued, states also display a commitment to the idea that it is inappropriate to promote the national interest without any regard for international law and morality.
  • Realism
    A particular view of the world, or paradigm, defined by the following assumptions: the international realm is anarchic and consists of independent political units called states; states are the primary actors and inherently possess some offensive military capability or power which makes them potentially dangerous to each other; states can never be sure about the intentions of other states; the basic motive driving states is survival or the maintenance of sovereignty; states are instrumentally rational and think strategically about how to survive.
  • Social Constructivism
    Social constructivism is about human consciousness and its role in international life. As such, constructivism rests on an irreducibly intersubjective dimension of human action: the capacity and will of people to take a deliberate attitude towards the world and to lend it significance. This capacity gives rise to social facts, or facts that depend on human agreement that they exist and typically require human institutions for their existence (money, property rights, sovereignty, marriage and Valentine’s Day, for example). Constructivists contend that not only are identities and interests of actors socially constructed, but also that they must share the stage with a whole host of other ideational factors emanating from people as cultural beings. No general theory of the social construction of reality is available to be borrowed from other fields and international relations constructivists have not as yet managed to formulate a fully fledged theory of their own. As a result, constructivism remains more of a philosophically and theoretically informed perspective on and approach to the empirical study of international relations.
  • Traditionalism
    An approach to international relations that emphasises the studying of such disciplines as diplomatic history, international law, and philosophy in an attempt to develop better insights. Traditionalists tend to be skeptical of behavioralist approaches that are confined to strict scientific standards that include formal hypothesis testing and, usually, the use of statistical analysis
  • Transnational Historical Materialism
    Transnational historical materialism falls within the Marxist tradition. This comtemporary Marxism takes its inspiration from Antonio Gramsci and gives greater significance to the role of culture and ideas, along with focussing on economic aspects of order and change. It is seen as a corrective to the economism of classical Marxism.
  • Transnationalism
    Interactions and coalitions across state boundaries that involve such diverse nongovernmental actors as multinational corporations and banks, church groups, and terrorist networks. In some usages, transnationalism includes both nongovernmental as well as transgovernmental links. The term transnational is used both to label the actor (for example, a transnational actor) or a pattern of behavior (for example, an international organisation that acts transnationally – operates across state borders). Theorists focusing on transnationalism often deemphasise the state as primary and unitary actor
  • World Capitalist System
    An approach to international relations that emphasises the impact of the world wide spread of capitalism. It focuses on class and economic relations and the division of the world into a dominant centre or core of industrialised countries, a subordinate periphery of less developed countries and a semi-periphery of countries that occupy an intermediate position between core and periphery
  • World-Systems Analysis
    World-systems analysis is not a theory or mode of theorizing, but a perspective and a critique of other perspectives within social science. Its social origins were located in the geopolitical emergence of the Third World in the late 1960s and the manifest insufficiencies of modernization theory to account for what was happening. The unit of analysis is the world-system rather than a state or society, with particular emphases on the long-term history and totality of the system. The notion of totality (globality, unidisciplinarity and holism) distinguishes world-systems analysis from similar approaches such as global or international political economy which look at the relationships between the two segregated streams of politics and economics. Proponents of world-systems analysis also regard it as an intellectual movement, capable of transforming social science into a vehicle for world-wide social